Di awal tahun 1960an, tenun lurik asal Krapyak, Yogyakarta mendapat tempat di hati masyarakat pengagum kain tradisional setelah batik. Salah satunya adalah karya perajin rumah produksi Kurnia Lurik di Jalan Krapyak Wetan, Panggungharjo, Sewon Bantul, Yogyakarta. Produksi kain lurik yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) ini sudah beroperasi sejak 1962 dan menjadi satu-satunya yang bertahan setelah 4 rumah produksi lainnya kini hanya tinggal nama saja. Masuknya teknologi modern dari Tiongkok serta minimnya regenerasi yang menekuni seni tenun ini, kian menjadi tantangan yang harus dihadapi agar pesona kain tradisional lurik tidak meredup. Mau tidak mau, generasi ketiga Lurik Kurnia mengimbangi resiko ini dengan berinovasi, melek teknologi dan menggandeng desainer agar mesin tenun peninggalan leluhurnya tetap berputar. Tak tanggung-tanggung sekitar 500 motif koleksi Lurik Kurnia diperbarui agar tidak ketinggalan jaman. Proses yang sangat panjang untuk menghasilkan 100 meter kain lurik dengan harga Rp 35 ribu per meternya ini dikerjakan dalam kurun waktu satu bulan. Proses pembuatannya dimulai dari pemilihan benang mentah yang dikirim dari Klaten, pewarnaan atau wenter, penjemuran benang selama satu hari, pemintalan, pembuatan motif hingga akhirnya ditenun secara manual. Lewat sentuhan unik, halus dan telaten dari tangan-tangan perajin sepuh dalam menggarap dan menghasilkan kain tenun dengan kualitas terbaik rasanya Yogyakarta masih mampu membidani pesona klasik tenun lurik. FOTO DAN TEKS : KORAN SINDO/DJULI PAMUNGKAS
Anda punya koleksi foto jalan-jalan yang keren, liburan tak terlupakan, atau foto indah penuh makna?
Kirim foto-foto Anda untuk tampil di GALERIMU SINDOnews.com