Keindahan dan Kemegahan Arsitektur 4 Masjid di Jawa Timur

Senin, 19 Desember 2022 - 10:08 WIB
Indah, megah, mewah, klasik hingga modern. Begitulah nuansa yang melekat pada masjid-masjid di wilayah Jawa Timur.
click to zoom
Masjid Surabaya
click to zoom
Masjid Tuban
click to zoom
Indah, megah, mewah, klasik hingga modern. Begitulah nuansa yang melekat pada masjid-masjid di wilayah Jawa Timur.
click to zoom
masjid Namira
click to zoom
masjid Namira
click to zoom
Masjid Bangkalan
click to zoom
Indah, megah, mewah, klasik hingga modern. Begitulah nuansa yang melekat pada masjid-masjid di wilayah Jawa Timur.
click to zoom
Indah, megah, mewah, klasik hingga modern. Begitulah nuansa yang melekat pada masjid-masjid di wilayah Jawa Timur. Setidaknya ada empat masjid yang kami kunjungi dalam wisata religi pada Jumat-Sabtu (9-10/12/2022). Masjid pertama yang kami kunjungi adalah Masjid Namira yang berlokasi di Jalan Raya Mantup KM 5, Desa Jotosanur, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan pada Jumat malam hingga Sabtu dini hari.

Menurut beberapa sumber, Masjid Namira dibangun sekitar awal 2013 dan dibuka pertama kali pada 1 Juni 2013. Pendirinya adalah seorang pengusaha emas Lamongan yang juga Ketua Yayasan Masjid Namira, Helmy Riza. Waktu itu bangunannya memanjang dan belum sebesar sekarang. Bangunan lama masjid ini masih dapat disaksikan di gerbang masuk. Bangunan Masjid Namira yang sekarang, berlokasi beberapa meter ke barat dari bangunan lama, adalah hasil pembangunan yang diresmikan pada 2 Oktober 2016, bertepatan dengan 1 Muharram 1438 Hijriyah. Setelahnya, perluasan lahan terus dilakukan untuk menambah lahan parkir dan tempat wudhu pria serta membangun aula untuk berbuka puasa Ramadhan dan puasa Senin Kamis.

Bangunan Masjid Namira berbentuk bujur sangkar dan berarsitektur minimalis modern. Masjid ini tidak berdinding masif selain dinding sisi kiblatnya. Sisi timur, utara, dan selatan masjid ini memakai kaca sebagai pengganti dinding, membuat masjid ini terkesan terbuka. Kubah masjid tidak berada di tengah bangunan inti, tetapi berada di teras sisi timur dan utara serta menara masjid. Kubahnya sendiri bukanlah kubah beton, apalagi kubah emas, melainkan kubah kaca berwarna kuning keemasan. Kubah-kubah ini akan terlihat menyala bila malam hari, karena efek lampu di dalamnya. Menara masjid yang berada di sisi selatan terlihat sederhana dan berlapis marmer abu-abu dengan lafaz Allah di empat sisi atasnya.

Kemewahan masjid ini tidak menonjol dari beragam hiasan detail yang jamak ditemukan pada umumnya masjid di Nusantara, melainkan pada material marmer yang melapisi dinding luar dan dalam masjid ini. Juga, batu alam berwarna hitam yang menempel pada tiang teras. Kalaupun ada ornamen hiasan, hanyalah bintang al-quds atau bintang delapan yang menutupi bagian atas bangunan masjid serta kolom teras dan menara.

Kemudian Masjid Agung Tuban, menjadi masjid kedua yang kami kunjungi pada Sabtu dini hari menjelang subuh. Masjid Agung Tuban adalah salah satu rumah ibadah muslim di Indonesia yang memiliki sejarah panjang. Masjid ini didirikan pada abad ke-15 oleh Bupati Tuban pertama yang memeluk agama Islam, yakni Adipati Raden Ario Tedjo. Lokasi masjid pun sangat strategis karena berada di sekitar alun- alun kota dan tidak jauh dari kompleks makam Sunan Bonang.

Sebelum mencapai bentuk megah seperti yang terlihat saat ini, masjid telah dipugar beberapa kali. Tahun 1894 dilakukan perombakan pertama dengan menggunakan jasa arsitek Belanda, B.O.E.H.M. Toxopeus. Renovasi berikutnya pada tahun 1985 bertujuan memperluas bangunan masjid. Pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 2004. Pada renovasi terakhir dilakukan beberapa perubahan yang signifikan, seperti penambahan lantai dari satu menjadi tiga lantai, pembangunan sayap kanan dan kiri bangunan, pembangunan enam menara, dan sebagainya. Hasilnya, Masjid Agung Tuban menjadi sangat megah seperti yang bisa disaksikan saat ini.

Tampilan luar bangunan masjid mengingatkan pada Masjid Imam di Kota Isfahan, Iran. Pengaruh ini juga yang menjadikan Masjid Agung Tuban tampak memancarkan pesona 1.001 malam dengan permainan warna, terutama pada malam hari. Bagian dalam masjid yang banyak menggunakan pola lengkungan untuk menghubungkan tiang penyangga sehingga menghasilkan pola ruang dengan kolom-kolom, sepertinya terinspirasi dari ruang dalam Masjid Cordoba, Spanyol.

Gaya arsitektur khas Nusantara dapat ditemui pada pintu dan mimbar yang terbuat dari kayu dengan ornamen ukiran khas Jawa. Di sayap mihrab terdapat tangga dari bahan kuningan mencirikan gaya khas ornamen Jawa Klasik. Selain pola arsitekturnya, Masjid Agung Tuban memiliki keistimewaan lain. Sekitar sepuluh meter dari masjid, berdiri Museum Kembang Putih yang menyimpan berbagai beres bersejarah seperti kitab Al-Quran kuna terbuat dari kulit, keramik Cina, pusaka, sarkofagus, dan sebagainya.

Selanjutnya, masjid ketiga yang kami kunjungi adalah Masjid Agung Bangkalan. Masjid yang berada di Madura ini kami kunjungi pada Sabtu siang hari. Berdirinya Masjid Agung Bangkalan tak lepas dari jasa Raden Maulana Abdul Kadir sebagai penguasa Kerajaan Bangkalan. Di dalam Cungkup Pesarean Raden Maulana Abdul Kadir yang tepat berada di belakang Masjid Agung itu, juga bersemayam belasan makam sanak keluarga dan kerabat dekat. Di antaranya adalah makam Pangeran Muhammad Jusuf alias Panembahan Cakra Adiningrat VII (1847-1862), makam Raden Abdul Jumali alias Pangeran Pakuningrat (1862-1879), makam Raden Mohammad Ismail alias Panembahan Cakra Adiningrat V (1862-1882), dan masih lagi sanak keluarga dan kerabat lainnya.

Atas prakarsa seorang pengusaha besar asal KabupatenBangkalanH Hoesein Soeropranoto yang bekerja sama dengan Yayasan Ta'mirul Masjid Agung setempat, Masjid Agung Bangkalan peninggalan Raden Maulana Abdul Kadir atau Sultan Abdul Kadirun menjalani rehabilitasi dan perluasan. Berbekal plafon dana sebesar Rp 545,5 juta lebih, proses rehabilitasi dan perluasan Masjid Agung Bangkalan itu akhirnya bergulir mulai tanggal 28 Oktober 1990 s/d tanggal 16 April 1991.

Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya menjadi masjid keempat yang kami kunjungi Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dikenal sebagai masjid terbesar kedua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Masjid ini berdiri di wilayah Kelurahan Pagesangan, Kecamatan Jambangan, Kota Surabaya dan tepat di samping jalan Tol Surabaya-Gempol. Dilansir dari laman masjid al akbar, Masjid Al-Akbar mulai dibangun pada 4 Agustus 1995 ditandai peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden Try Sutrisno. Kemudian pada 10 November 2000 diresmikan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Pemilihan tanggal itu karena bersamaan dengan hari pahlawan dan hari jadi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Perancang Masjid Al-Akbar ini adalah tim dari ITS. Sebagai Masjid terbesar kedua, tempat ibadah ini dapat menampung sekitar 30.000 jemaah. Ciri khas dari masjid ini adalah sebuah kubah besar yang dikelilingi empat buah kebah kecil berbentuk limas. Kelima kubah ini merepresentasikan jumlah rukun Islam. Selain itu terdapat pula menara yang menjulang tinggi berukuran 99 meter yang erat kaitannya dengan 99 nama Allah yakni Asmaul Husna. Rencananya masjid ini akan dibangun 7 menara pada awalnya. Namun karena krisis ekonomi yang melanda di tahun 1997 membuat hanya satu menara saja yang didirikan. Keunikan masjid ini, terdapat 45 buah pintu di Masjid Al-Akbar dimana tiap pintu terdiri dari dua pintu. Masing-masing pintu ini memiliki tinggi 4,5 meter dengan lebar 1,5 meter. Sementara mimbar masjid memiliki tinggi 3 meter dan dipermanis dengan ornamen ornamen khas Madura. Ornamen kaligrafi yang diukir juga mendominasi dinding tempat ini.

Pada bagian dalam kubah masjid terdapat ornamen kaligrafi Al-Quran dengan panjang 180 meter dan lebar 1 meter. Di mihrab, relung imam, dan dinding utama ditempatkan rak Al-Qur'an berukiran anggun dan indah di semua penjuru masjid. Masjid terbesar kedua ini juga beralaskan marmer berkualitas dari Lampung. Karena itulah tempat ibadah ini memiliki tampilan yang berkelas.
(sra)
Foto Terkait
Foto Terpopuler
Foto Terkini More