Petani Madiun Minta Firli Kawal Kebijakan Pengembangan Porang Hulu ke Hilir
Sabtu, 31 Desember 2022 - 20:07 WIB
Sejumlah petani di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, meminta Ketua KPK Firli Bahuri ikut mengawal kebijakan pengembangan komoditas porang.
Pasalnya, produk pertanian yang digadang-gadang menjadi komoditas ekspor unggulan itu kini banyak masalah di tingkat petani.
Masalah tersebut mulai dari harga jual yang terus merosot, proses registrasi lahan untuk syarat ekspor yang menyulitkan petani, pangsa pasar di tingkat domestik maupun global yang belum stabil, termasuk dukungan penerapan budidaya sesuai Good Agricultural Practices (GAP).
“Yang utama soal harga, anjlok parah, petani rugi karena bibit sekarang mahal, padahal katanya ekspor Cina sudah dibuka tapi kok tidak naik-naik, ini ada apa sebenarnya?,” kata Musyfik, koordinator petani saat unjuk aspirasi di Durenan, Kecamatan Gemarang, Sabtu (31/12).
Menurutnya, biaya produksi yang dikeluarkan petani tak sebanding dengan harga jual. Meski secara kualitas hasil panen musim ini lebih bagus dibanding musim lalu, nilai tukarnya beda jauh.
Disebutkan, harga porang basah sekitar Rp.2.000 hingga Rp.3.000 per kilogram, porang kering Rp.20.000 sampai Rp. 21.000. Padahal, tahun lalu porang basah bisa mencapai Rp.15.000 dan porang kering Rp. 40.000 per kilogram.
“Kalau begini bagaimana kami kembalikan pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat), kalau bisa ada standar hargalah karena selama ini dijual ke tengkulak atau pengepul,” ungkapnya.
Masalah lain, petani juga dipusingkan dengan persoalan administrasi pengurusan registrasi lahan. Petani harus melampirkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Nomor Induk Berusaha (NIB), dan mengisi sebanyak 134 formulir.
“Banyak yang tidak ngurus karena ribet, mestinya tidak perlu dibebani urusan begini, yang kami perlukan itu pendampingan budidaya, prasarana irigasi, jalan, dan jaminan pasar,” tegas Musyfik.
Senada, Mohamad Suparno menyatakan, saat ini banyak aspek di sektor pertanian umbi porang yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Perhatian yang dimaksud tidak lain berupa pengembangan kebijakan yang terintegrasi mulai dari hulu sampai akhir.
“Jangan sampai petani didorong-dorong tapi pasarnya tidak jelas, jangan sampai juga ada permainan di ekspor seperti jenis (pertanian) lain,” harapnya.
Atas dasar itu, pihaknya memandang perlu ada kerja sama semua pihak dalam rangka pengembangan kebijakan yang betul-betul memihak ke petani.
Terlebih pemerintah tengah mengupayakan hirilisasi industri porang di mana bila hal itu tidak dilakukan dengan seksama jutru bisa merugikan petani.
“Karena ini banyak ekspor, mohon Pak Firli turun juga mengawal ini. Kami percaya beliau paham dan peduli,” tandasnya.
Pasalnya, produk pertanian yang digadang-gadang menjadi komoditas ekspor unggulan itu kini banyak masalah di tingkat petani.
Masalah tersebut mulai dari harga jual yang terus merosot, proses registrasi lahan untuk syarat ekspor yang menyulitkan petani, pangsa pasar di tingkat domestik maupun global yang belum stabil, termasuk dukungan penerapan budidaya sesuai Good Agricultural Practices (GAP).
“Yang utama soal harga, anjlok parah, petani rugi karena bibit sekarang mahal, padahal katanya ekspor Cina sudah dibuka tapi kok tidak naik-naik, ini ada apa sebenarnya?,” kata Musyfik, koordinator petani saat unjuk aspirasi di Durenan, Kecamatan Gemarang, Sabtu (31/12).
Menurutnya, biaya produksi yang dikeluarkan petani tak sebanding dengan harga jual. Meski secara kualitas hasil panen musim ini lebih bagus dibanding musim lalu, nilai tukarnya beda jauh.
Disebutkan, harga porang basah sekitar Rp.2.000 hingga Rp.3.000 per kilogram, porang kering Rp.20.000 sampai Rp. 21.000. Padahal, tahun lalu porang basah bisa mencapai Rp.15.000 dan porang kering Rp. 40.000 per kilogram.
“Kalau begini bagaimana kami kembalikan pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat), kalau bisa ada standar hargalah karena selama ini dijual ke tengkulak atau pengepul,” ungkapnya.
Masalah lain, petani juga dipusingkan dengan persoalan administrasi pengurusan registrasi lahan. Petani harus melampirkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Nomor Induk Berusaha (NIB), dan mengisi sebanyak 134 formulir.
“Banyak yang tidak ngurus karena ribet, mestinya tidak perlu dibebani urusan begini, yang kami perlukan itu pendampingan budidaya, prasarana irigasi, jalan, dan jaminan pasar,” tegas Musyfik.
Senada, Mohamad Suparno menyatakan, saat ini banyak aspek di sektor pertanian umbi porang yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Perhatian yang dimaksud tidak lain berupa pengembangan kebijakan yang terintegrasi mulai dari hulu sampai akhir.
“Jangan sampai petani didorong-dorong tapi pasarnya tidak jelas, jangan sampai juga ada permainan di ekspor seperti jenis (pertanian) lain,” harapnya.
Atas dasar itu, pihaknya memandang perlu ada kerja sama semua pihak dalam rangka pengembangan kebijakan yang betul-betul memihak ke petani.
Terlebih pemerintah tengah mengupayakan hirilisasi industri porang di mana bila hal itu tidak dilakukan dengan seksama jutru bisa merugikan petani.
“Karena ini banyak ekspor, mohon Pak Firli turun juga mengawal ini. Kami percaya beliau paham dan peduli,” tandasnya.
(sra)