Denny JA: Melawan Kekerasan Seksual di Era Media Sosial

Minggu, 21 Mei 2023 - 13:00 WIB
Ketua Umum Esoterika forum spiritualitas, Denny JA memberi pidato pembuka pada acara Gerakan Perempuan Indonesia Dewasa ini: Mengenang Kerusuhan Mei 1998 di (BBPK) Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (20/05/2023).
click to zoom
Acara tersebut diisi oleh pembacaan puisi dan penampilan musik. Hadir sebagai narasumber dalam acara itu adalah Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dan intelektual Islam Neng Dara Affiah.
click to zoom
(dari kiri) Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Ketua Esetorika Denny JA, Moderator Budhy Munawar Rachman dan Intelektual Islam Neng Dara Affifah berbincang seusai acara Esetorika Forum Spiritualitas dengan tema Gerakan Perempuan Indonesia Dewasa ini : Mengenang Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Sabtu (20/5/2023). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya Esoterika untuk memperjuangkan Hak-Hak korban kerusuhan Mei 1998 khususnya para wanita yang mengalami tindak kekerasan
click to zoom
JAKARTA - Media sosial telah melahirkan satu gelombang baru feminisme yang memberikan efek perubahan signifikan, terutama terkait sexual harassment atau kekerasan seksual. Kita di Indonesia dapat belajar banyak dari gerakan ini.

Dalam publikasi hasil riset Harvard Business Review yang terbit Juli 2019, disebutkan, terjadi penurunan kasus kekerasan seksual dalam beberapa jenisnya di Amerika Serikat pada 2016-2018.

Hal itu diungkapkan Ketua Esoterika Forum Spiritualitas Denny JA dalam acara diskusi bertajuk "Gerakan Perempuan Indonesia Dewasa Ini: Mengenang Kerusuhan Mei 1998" yang digelar di Ruang Garuda, Gedung Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Jakarta Selatan pada Sabtu (20 Mei 2023).

Berbeda dari acara diskusi pada umumnya, diskusi Esoterika itu juga diisi dengan pendarasan teks suci agama, kepercayaan, mazmur serta meditasi. Selain itu, diskusi juga diwarnai dengan penampilan musik serta pembacaan puisi mengenai Kerusuhan Mei 1998.

Hadir sebagai narasumber pada acara tersebut adalah Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dan intelektual Islam Neng Dara Affiah.

Denny JA mengatakan, dalam hasil riset Harvard Business Review, terminologi kekerasan seksual diukur dalam tiga dimensi, yakni pelecehan gender, perhatian seksual yang tidak diinginkan, dan pemaksaan seksual.

Pelecehan gender melibatkan perlakuan negatif terhadap perempuan yang tidak selalu bersifat seksual. Pelecehan itu mencakup komentar yang seksis, menceritakan kisah yang tidak pantas, atau menampilkan materi seksis.

Perhatian seksual yang tidak diinginkan mencakup beberapa perilaku. Misalnya menatap, melirik, atau sentuhan yang tidak diinginkan. Sedangkan, pemaksaan seksual termasuk menyuap atau menekan perempuan untuk terlibat dalam perilaku seksual.

Dalam riset tersebut, ada dua data yang dibandingkan, yakni di tahun 2016 dan 2018. Pada 2016, 25 persen perempuan dilaporkan mengalami pemaksaan seksual. Lalu, pada 2018, angka tersebut menurun menjadi 16 persen. Perhatian seksual yang tidak diinginkan menurun dari 66 persen pada 2016 menjadi 25 persen di 2018.

“Yang menarik, menurunnya kekerasan seksual itu dihubungkan dengan gelombang besar sebuah gerakan di media sosial. Tentu saja gerakan jenis ini tak pernah terjadi sebelum datangnya media sosial,” kata Denny JA dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (21/5/2023).

Denny menyebut, sebuah unggahan di Twitter ikut memulai lahirnya sebuah gerakan feminisme jenis ini. Pada 15 Oktober 2017, seorang artis dan aktivis Alyssa Jayne Milano mengunggah di akun Twitternya. “Jika Anda pernah mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, jawablah dengan ‘Me Too’.”

Konteks posting Alyssa itu menjadi berita yang sangat heboh yang menimpa produser film Hollywood berpengaruh, Harvey Weinstein, yang juga pemilik perusahaan film terkemuka, Miramax. Salah satu filmnya bahkan pernah menang Oscar dan beredar di Indonesia, yakni Shakespeare in Love (1999).

Denny mengatakan, usai unggahan itu, satu per satu artis melaporkan bahwa dulu di masa muda dan awal karir, mereka diminta sejenis layanan seksual, bahkan ada yang menyatakan diperkosa.

Berita ini lantas menggemparkan publik di Amerika Serikat. Di era informasi seperti saat ini, berita itu pun mendunia. Apalagi, hal ini menyangkut para artis terkemuka yang wajahnya sering terlihat di layar lebar. Ramai-ramai mereka mengungkap dunia terselubung di Hollywood.

Kala itu, Alyssa meyakini, kekerasan seksual terjadi di banyak tempat. Dia ingin memberi semangat kepada para korban untuk berani bercerita pengalaman dengan cukup menjawab di Twitter #Me Too.

Alyssa tak menduga respons atas tweetnya begitu heboh. BBC melaporkan, hanya dalam waktu satu hari, di hari itu juga, hastag “Me Too” digunakan lebih dari 200.000 kali. Esok harinya, unggahan itu sudah di-retweet sebanyak 500 ribu kali. Hastag “Me Too” bahkan sudah digunakan oleh 4,7 juta orang lewat 12 juta posting.

Selain itu, Facebook bahkan melaporkan 45 persen dari penggunanya memiliki teman yang menggunakan hastag “Mee Too.” Maka, hastag “Mee Too” pun menjadi gerakan.

Dalam laporannya, badan kesehatan dunia, WHO, menyebut sebanyak sepertiga wanita di dunia dalam hidupnya pernah mengalami pelecehan seksual.

“Kesamaan nasib itu pula yang membuat gerakan “Me Too” bergaung sangat cepat dan meluas dengan kilat,” ujar Denny JA.

Denny menambahkan, pada 2021, Tarana Burke menerbitkan buku berjudul Unbound: The Story of Liberation and The Birth of Mee Too Movement. Tarana yang menciptakan slogan “Mee Too.”

Denny mengisahkan, Tarana yang pernah diperkosa pada usia 7 tahun pun menjadi aktivis dan bertekad membantu mereka yang mengalami kekerasan seksual, terutama anak-anak.

Menurut Tarana, ada dua hal yang membuat kasus perkosaan itu tetap terjadi dan meluas. Pertama, hadirnya kultur bisu, di mana para korban tak ingin kasus itu dilaporkan karena membawa aib keluarga. Hal itu juga akan membuat dirinya sulit mendapatkan jodoh karena merupakan korban perkosaan. Wanita korban perkosaan dianggap sudah tak lagi suci, tercela, dan sebagainya.

Kedua, hadir pula tradisi victim blaming, di mana sang pelapor yang malah akan disalahkan, bahkan dihukum. Apalagi, jika pelaku yang dilaporkan itu orang yang mempunya kuasa atau dihormati.

“Tapi dalam perjalanan hidupnya, Tarana juga menemukan titik cerah. Jika ada yang mulai berani bercerita kasus yang dialami, respons ‘Me Too’ membuat korban merasa tak sendiri. Mereka lebih terbuka untuk bercerita,” kata Denny JA.

Dia mengatakan, respons ‘Me Too’ ternyata memiliki kekuatan seperti mantra karena merupakan ekspresi rasa empati dan hal itu sangat dibutuhkan oleh korban pelecehan seksual.

Sejak 2006, Tarana mengkampanyekan hastag “Me Too” agar para korban kekerasan seksual berani tampil dan membantu para korban lain untuk berani bersuara.

Pada 2017, Time Magazine memilih para individual korban yang berani bersuara. Persons of the Year diberikan kepada Silence Breakers. Lalu, Tarana Burke, Alyssa Milano dan Ashley Judd dianugerahi The Persons of The Year.

“Kaum feminis di Indonesia dan aneka pihak yang peduli dengan kekerasan seksual dapat belajar dari kasus itu,” ujar Denny JA.

Di Indonesia, gerakan “Me Too” juga dihidupkan oleh aktivis, namun hasilnya belum mencolok. Sebab, kultur bisu dan victim blaming di Indonesia jauh lebih kuat.

Menurut Denny JA, publik di Indonesia dibuat gempar dengan berita di tahun 2022 tentang banyaknya kasus perkosaan kepada santriwati di pesantren oleh guru agamanya sendiri.

“Kultur bisu di pesantren jauh lebih kuat. Jauh lebih banyak kasus kekerasan seksual di dalam pesantren yang tak menjadi berita. Citra pesantren begitu ingin dilindungi,” ungkap Denny JA.

Dia menuturkan, ketika kultur individu belum terlalu berani menyatakan “Me Too, saya juga mengalami kekerasan seksual”, maka negara harus hadir. Perlindungan hukum yang dibuat oleh negara harus lebih ekstra.

Lalu, perkembangan penting itu terjadi, di mana pada 2022, UU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah dilahirkan. Hal ini menjadi kemajuan signifikan bagi perlindungan kaum perempuan untuk kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Denny JA menegaskan, Forum Esoterika yang merupakan forum spiritualitas antar agama ikut hadir terhadap urusan perlindungan perempuan karena meyakini dan memilih tafsir agama yang pro terhadap hak asasi manusia dan kemajuan wanita. Forum Esoterika tak hanya bersama merayakan hari agama, tapi berkumpul untuk merenungkan peristiwa hak asasi manusia dan kaum perempuan.

“Kita sudah sampai di era media sosial. Akun di media sosial itu adalah senjata di dunia informasi. Sekecil apapun, kita dapat mendayagunakan akun media sosial itu untuk mengurangi kekerasan seksual ataupun ikut menyebarkan isu-isu pencerahan,” pungkasnya.
(sra)
Foto Terkait
Foto Terpopuler
Foto Terkini More