#PraxiSurvey: Terjadi Kesenjangan Narasi Antara Publik dan Pemerintah Terhadap Program Hilirisasi di Indonesia

Rabu, 31 Juli 2024 - 17:56 WIB
Director of Public Affairs Praxis PR Sofyan Herbowo (kiri) dan pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Fahmy Radhi pada paparan survei yang digelar di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
click to zoom
Director of Public Affairs Praxis PR Sofyan Herbowo (kiri) dan pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Fahmy Radhi pada paparan survei yang digelar di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
click to zoom
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Esther Sri Astuti memberikan paparan dalam acara press conference #PraxiSurvey: Sentimen Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Minerba di Indonesia Tahun 2024 di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
click to zoom
Director of Public Affairs Praxis PR Sofyan Herbowo (kiri), dan Pakar Ekonomi Energi UGM, Dr. Fahmy Radhi (kanan) memberikan paparan dalam acara press conference #PraxiSurvey: Sentimen Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Minerba di Indonesia Tahun 2024 di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
click to zoom
Jakarta, 31 Juli 2024 – Diskursus mengenai program hilirisasi mineral dan batubara (minerba)

di Indonesia masih banyak direlasikan dengan persoalan politik serta kebijakan makro

pemerintah. Dalam diskursus ini masih terjadi kesenjangan narasi isu hilirisasi antara

pemerintah dan masyarakat.

Salah satu kesimpulan ini merupakan hasil dari penelitian PraxiSurvey IV bertajuk “Sentimen

Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Minerba di Indonesia Tahun 2024”. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi kasus kata kunci (keyword) hilirisasi

yang berasal dari percakapan warganet pada platform Twitter (X), Facebook (Fanpage),

Youtube, Instagram, dan TikTok selama rentang waktu 1 Januari – 30 Juni 2024.

Director of Public Affairs Praxis PR, Sofyan Herbowo menjelaskan penelitian ini dilakukan

untuk memotret sejauh mana persepsi publik terhadap narasi kebijakan hilirisasi minerba di

Indonesia selama tahun 2024. Dalam survei ini terdapat 26.142 percakapan dengan dominasi

percakapan bersentimen negatif.

“Hilirisasi adalah salah satu lema yang populer di publik, merujuk pada kebijakan pemerintah

untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil alam melalui berbagai langkah turunan,” kata

Sofyan saat menyampaikan paparan survei yang digelar di Jakarta, Rabu (31/7/2024).

Pada paparan hasil survei ini, hadir sebagai pembedah adalah Direktur Eksekutif Indonesia

Mining Association (IMA), Hendra Sinadia; Direktur Eksekutif INDEF Dr. Esther Sri Astuti; dan

pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Fahmy Radhi.

Berdasarkan hasil survei ditemukan adanya kesenjangan narasi yang mengakibatkan

perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat terhadap program hilirisasi minerba.

Dalam sosialisasinya, pemerintah masih mengedepankan isu pertumbuhan ekonomi dan

penciptaan nilai tambah ekonomi sebagai manfaat dari program hilirisasi. Sedangkan narasi

yang muncul dari masyarakat sipil terkait hilirisasi adalah persoalan-persoalan yang

menyangkut ruang hidup, lingkungan-sosial, dan eksistensi masyarakat adat.

“Kami memahami bahwa hilirisasi memiliki manfaat secara jangka panjang. Sedangkan yang

dinarasikan oleh masyarakat sipil saat ini adalah dampak negatif yang sedang dirasakan

sekarang. Artinya, memang ada kesenjangan yang cukup besar antara narasi pemerintah dan

masyarakat sipil yang menyuarakan keluhan dari masyarakat terdampak.”

Dari hasil survei ini, Sofyan memberikan rekomendasi strategis bagi pemerintah, industri

maupun kelompok masyarakat sipil. Dalam hal ini, kata dia, perlu disusun dan dibangun narasi

tentang hilirisasi minerba yang tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi tapi harus

memperhatikan biaya eksternalitas serta dampak hilirisasi seperti dampak lingkungan, sosial,

dan lain-lain.

Sofyan juga menyarankan agar dibuka ruang dialog dengan para aktor dan organisasi

masyarakat sipil yang selama ini cukup kritis dengan kebijakan hilirisasi minerba.

“Kami juga merekomendasikan untuk mendorong para pelaku usaha pertambangan atau

industri ekstraktif melakukan analisis dampak lingkungan dan sosial untuk menghindari

kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akibat praktik bisnisnya,”

ujarnya.

Pakar Ekonomi Energi UGM, Dr. Fahmy Radhi mengaminkan kajian SNA Praxis PR.

Menurutnya, kesenjangan informasi tersebut timbul karena belum adanya pemahaman yang

solid dari pemerintah mengenai konsep hilirisasi. Masing-masing kementerian, kata dia, masih

mempunyai definisi sendiri dan berbeda tentang hilirisasi. Hal itu yang membuat terjadi

kesenjangan narasi hilirisasi antara pemerintah dan publik.

"Kesenjangan narasi ini yang harus dijembatani dengan strategi komunikasi yang komprehensif

dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang ada,” kata Fahmy.

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia menyetujui pernyataan

tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya mendukung penuh agenda kebijakan hilirisasi

pemerintah. Akan tetapi, masih terdapat kesenjangan pemahaman terhadap makna hilirisasi di

sektor pertambangan mineral dan batubara.

“Publik melihatnya hilirisasi itu sebagai sesuatu yang disamaratakan, padahal karakteristik dari

masing-masing mineral dan bahkan batu bara berbeda satu sama lain. Perbedaan karakteristik

tersebut akan berpengaruh terhadap keekonomian. Publik juga cenderung melihat

keberlangsungan dari hilirisasi mineral itu semata-mata peran dari industri pertambangan.

Padahal, sejatinya keberhasilan proses hilirisasi itu juga dipengaruhi ketersediaan industri

domestik yang bisa menyerap produk hilirisasi. Maka, kesenjangan pemahaman mengenai

hilirisasi itu sendiri yang perlu dikaji kembali,” jelas Hendra.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Esther Sri

Astuti turut mengapresiasi upaya Praxis PR dalam memetakan persepsi publik terhadap

kebijakan hilirisasi minerba.

“Hilirisasi meningkatkan investasi dan kapasitas ekonomi yang ditunjukkan dengan kenaikan

nilai investasi dan produk domestik bruto, tetapi belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan

dan ketimpangan ekonomi,” terang Esther.

Secara umum, dari survei ini percakapan mayoritas terjadi pada platform X sebesar 40,45%

dengan didominasi percakapan bersentimen negatif. Percakapan lainnya terjadi juga di

YouTube (28,76%), Instagram (21,20%), Fanpage Facebook (5,6%), dan TikTok (3,91%).

Secara gender, percakapan didominasi oleh kelompok pria yang didominasi oleh generasi

milenial atau Y. Dalam percakapan isu hilirisasi, akun unique mendominasi percakapan sebesar

39% dan akun cyborg serta robot masing-masing 35% dan 26%.
(sra)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Foto Terkait
Foto Terpopuler
Foto Terkini More