Oberlin SH: Seharusnya KY, Bawas MK dan Menkumham Beri Perhatian Khusus
Presiden Joko Widodo (Jokowi) disurati oleh Tunggul P Sihombing,Labora Sitorus, I Putu Suarjana dan Muchtar Effendi. Isi dari surat terbuka itu adalah menjelaskan serta melampirkan berbagai kejanggalan proses hukum yang mereka alami.
Pada surat tertanggal 11 Maret 2021 tersebut, juga berisi beberapa poin terkait proses peradilan yang dinilai tidak sesuai dengan amanat undang-undang serta diduga sebagai produk dari mafia peradilan yang ada di Mahkamah Agung (MA).
Tunggul diketahui terjerat kasus korupsi penanganan flu burung, sementara Labora menjadi terpidana dalam kasus pencucian uang dan pencurian kayu. Kemudian I Putu Suarjana, tersangkut kasus korupsi dana operasional, dan Muchtar Effendi dipenjara lantaran kasus pencucian uang. Praktisi hukum Oberlin Sinaga, menilai wajar apa yang disampaikan para terpidana tersebut kepada Presiden.
Apalagi, berdasarkan amar putusan yang ada, sudah selayaknya permasalahan yang menjerat mereka turut mendapat perhatian dari Komisi Yudisial (KY).
"Seharusnya berdasarkan amar putusan yang ada sudah selayaknya Komisi Yudisial, Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung, terutama Menteri Hukum dan HAM memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan ini, terutama bila benar LP Kelas I Cipinang Jakarta Timur menerima eksekusi tanpa putusan atau salinan putusan yang tidak sesuai dengan amanat UU," kata Oberlin, Kamis (25/3).
"Terlebih lagi Lapas Cipinang menetapkan daftar ekspirasi yang merupakan rekayasa. Merujuk Pasal 200 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 50 Ayat 2 dan Pasal 52 Ayat 2 UU No 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM No M.HH-24.PK. 01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan demi Hukum, berbagai pelanggaran ini para korban harus bebas demi hukum," imbuh pria yang berprofesi sebagai advokat ini.
Selain itu, kata Oberlin permasalahan ini sudah selayaknya menjadi perhatian publik. Mengingat, diduga terdapat putusan yang dinilai bertentangan dengan undang-undang dalam perkara itu.
"Menyikapi hal tersebut, sudah selayaknya menjadi perhatian publik apalagi diduga terdapat putusan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan UU tentang Pemberantasan Korupsi karena sifatnya sangat diskriminatif, tidak sesuai prinsip equal before the law dan melindungi penguasa dan penjahat sebenarnya," ungkap Oberlin.