JAKI Ajak Amerika Serikat Kerja Sama untuk Perdamaian Laut Cina Selatan
JAKARTA-- Saat ini Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) dan Indonesian Club telah membentuk Panitia Majelis Rakyat Global Indonesia. Rencana Amerika Serikat (AS) berencana membentuk front untuk melawan Cina di wilayah Asean, dinilai mereka dapat memperkuat upaya pembentukan Pakta Perdamaian Laut Cina Selatan.
Meskipun begitu, penguatan politik internasional ini dipandang juga harus beriringan dengan upaya perdamaian dan kesepakatan-kesepakatan baru.
"Kami berpendapat perlawanan ini adalah bentuk melawan dominasi dan hegemoni Cina di Laut Cina Selatan yang mengutamakan kepentingan nasionalnya Cina sendiri di wilayah Asean dengan bertindak melampui hukum internasional dan tidak menghormati hak-hak bangsa-bangsa atas kedaulatan nasionalnya," kata
Koordinator Aktivis JAKI Yudi Syamhudi Suyuti, Senin (13/12).
Untuk itu, JAKI sebagai salah satu anggota Panitia Majelis Rakyat Global Indonesia yang merencanakan deklarasi di tengah Laut Natuna Utara dalam waktu dekat, mengajak Amerika Serikat untuk bekerja sama mendukung kapasitas kelompok masyarakat sipil Indonesia, Asean dan global untuk terlibat dalam pencapaian perdamaian Laut Cina Selatan. Bentuk dukungan ini salah satunya adalah dukungan terbentuknya Majelis Rakyat Global Indonesia.
"Hal ini merupakan bentuk kemajuan kekuatan kelima dalam demokrasi yaitu kekuatan rakyat. Setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa sebagai empat kekuatan demokrasi. Oleh karena itu sebagai wakil sosial suara rakyat warga negara langsung, kelompok masyarakat sipil perlu dilibatkan dalam pencapaian resolusi ketegangan Laut Cina Selatan," ujarnya.
"Dan mendukung terbentuknya Pakta Perdamaian Laut Cina Selatan yang bisa juga nantinya ditingkatkan menjadi Pakta Perdamaian Pasifik. Hal ini merupakan salah satu tindakan terbentuknya Majelis Rakyat Global Indonesia," imbuh Yudi.
Sedangkan otoritas Cina,kata dia juga harus mau diajak berunding untuk beberapa hal, yaitu bertindak kembali pada hukum internasional yang telah disepakati, menghentikan aktivitas pangkalan militernya di Laut Cina Selatan yang mengancam negara-negara berdaulat di Asean, serta menghormati hak-hak kedaulatan lautan bangsa-bangsa Asean yang telah ditetapkan melalui Unclos.
Lebih lanjut Yudi mengungkapkan, perdamaian tanpa keadilan tentu tidak akan terjadi.
"Oleh karena itu Cina harus mau bersikap adil dan berhenti mendikte-dikte pemerintah Indonesia untuk menghentikan pengeboran migas di Laut Natuna Utara yang jelas merupakan wilayah kedaulatan laut nasional Indonesia. Jika ini terus dilakukan, rakyat Indonesia bisa marah," jelas Yudi.
Jika Cina mau kembali mengikuti hukum internasional yang telah disepakati dunia, kata dia, tentu kesepakatan-kesepakatan baru dapat dibuat bersama. Dan kelompok masyarakat sipil akan menghormati sikap Cina dengan penuh penghormatan atas hak-hak nasionalnya.
"Semua upaya ini adalah tindakan untuk mendorong perdamaian dunia, kemanusiaan dan keadilan serta menjaga situasi agar konflik Laut Cina Selatan tidak meluas hingga ke seluruh wilayah Pasifik. Posisi politik negara Indonesia yang bebas aktif tidak terlepas oleh prinsip-prinsip hak asasi bangsa dan Hak Asasi Manusia yang merupakan perwujudan pembukaan UUD 45 sebagai manifesto politik Indonesia, dimana Pancasila ada di dalamnya," papar Yudi.
"Sehingga pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan front melawan Cina ini untuk menghentikan dominasi Cina dan memperkuat kedaulatan nasional Indonesia dalam menempatkan persoalan Natuna Utara serta menjalankan politik pragmatisnya," sambungnya.