Tiga Pekan Berlalu, Pengungsi Erupsi Semeru Masih Trauma
Rasa trauma masih belum hilang. ketakutan menghantui setiap hari, terutama di malam hari mengakibatkan sulit memejamkan mata. Karena beberapa kali erupsi susulan bukan hanya di pagi, siang atau sore hari, namun juga di tengah malam.
Demikian diungkapkan salahsatu warga yang tinggal di zona merah lereng Gunung Semeru, Faiqotul Himma (21) saat ditanya apa yang ia rasakan saat ini pasca erupsi Semeru dalam webinar yang digelar Rumah Polymath, Minggu (26/12) bertema Sehat Mental Di Tengah Erupsi Semeru.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejumlah kaum lelaki secara bergiliran terjaga di tengah malam. "Mereka ronda untuk berjaga-jaga bila ada erupsi, bisa segera membangunkan warga. Selain itu juga mencegah terjadinya pencurian," ujar wanita yang akrab disapa Fafa tersebut.
Gadis berhijab itu mengaku rasa trauma itu bukan saja disebabkan dari potensi erupsi yang hingga kini masih terus terjadi, namun juga dari pelaku-pelaku kejahatan yang mengambil kesempatan saat warga mengungsi. "Mereka mencuri rumah-rumah yang ditinggal kosong. Termasuk mencuri hewan ternak. Sudah beberapa kali kejadian disini," ungkap Fafa yang tinggal di Desa Sumber Wuluh, Candipuro, Lumajang itu
Mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di kota malang tersebut mengaku kegiatan psikososial yang dilakukan sejumlah lembaga kemanusiaan belum menyentuh para pengungsi "rumahan". "Rata-rata kegiatan trauma healing dilakukan di posko-posko pengungsi. Sedangkan kita yang menginap di rumah kerabat atau tetangga belum tersentuh. Padahal kami disini tak kalah stresnya dengan yang di pengungsian," keluhnya.
Dikatakannya, ada sekali dua kali lembaga yang mengajukan kegiatan psikososial bagi warga yang tidak mengungsi di posko, namun begitu warga berdatangan untuk mengikuti ternyata pihak lembaganya yang tidak hadir. "Kasihan mereka di PHP beberapa kali, membuat malas datang. Ada baiknya selanjutnya kegiatan trauma healing dengan jemput bola, menyisir warga yang mengungsi di rumah kerabat," pinta Fafa.
Merespon demikian, Direktur Eksekutif Indonesia Care, Lukman Azis yang hadir sebagai salah satu narasumber dalam webinar tersebut berharap agar kegiatan psikososial dilakukan secara suistanable dan tidak berganti-ganti personil. "Hal ini bertujuan membangun kedekatan para relawan pendamping dengan penyintas. Dilakukan juga dalam jangka panjang. Tidak hit and run," harap Lukman
Mantan jurnalis yang juga mantan relawan kemanusiaan di Rohingya, gempa Palu, Lombok dan banjir bandang Lebak tersebut menilai penderitaan sesungguhnya para penyintas bukan saat tanggap darurat. "Tapi justru saat para relawan sudah pulang, tak ada lagi wartawan yang memberitakan. Tak ada bantuan logistik mengalir. Suasana kembali sepi. Rasa kehilangan dan kesedihan sesungguhnya barulah sangat terasa," ungkapnya.
Pihak perguruan tinggi, lanjut Lukman, harus mulai memikirkan mengambil alih momentum ini dengan menerjunkan mahasiswa-mahasiswa psikologinya untuk membersamai. "Minimal tiga bulan di lokasi bencana. Kalau perlu pengabdian hingga satu tahun seperti kedokteran" usul Lukman.
Founder Rumah Polymath yang juga Guru Besar Psikologi UIN Jakarta, Prof Achmad Syahid menekankan agar menjadikan momentum ini sebagai peluang bagi mahasiswa psikologi untuk berbuat bagi masyarakat korban bencana. "Temuan yang disampaikan narasumber lapangan (dalam webbinar) ini, bisa menjadi bahan rujukan untuk membuat sebuah rumusan program lanjutan," imbuhnya.
Narasumber lain dalam diskusi tersebut diantaranya dua relawan psikososial dari Brigade Relawan Nusantara yang juga mahasiswa Psikologi UIN Jakarta, Aprilia Saraswati dan Angelia Pratama Kennedy. Keduanya menceritakan pengalaman terjun ke pengungsian Semeru dan membeberkan sejumlah temuan lapangan.