JAKI Tanggapi Laporan Praktik HAM RI oleh AS
JAKARTA-- Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) turut menanggapi Laporan Praktik Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai negara yang salah satunya Indonesia, oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (Kemlu AS).
"Kami dari salah satu kelompok masyarakat sipil yang bernama JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional) yang berbadan hukum di bawah hukum Indonesia dengan nama Yayasan JAKI Kemanusiaan Inisiatif dan telah terdaftar di UN DESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs) dan sedang berproses untuk pengajuan Anggota Konsultatif (consultative status) memberikan kerangka dasar substansial dalam proses penyelesaian kasus-kasus HAM secara menyeluruh dari hasil laporan tersebut," ujar Koordinator Eksekutif JAKI, Yudi Syamhudi Suyuti dalam keterangan tertulis, Selasa (26/4).
Yudi menjelaskan, kerangka dasar substansial ini tidak membahas satu per satu kasus, akan tetapi lebih pada bagaimana penyelesaian kasus-kasus HAM ini sedang dijalankan melalui beberapa program dari sistem yang berada dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun hal tersebut tidak mudah, karena terjadi penumpukan masalah, akan tetapi, proses ini justru sedang dimulai untuk melalui jalan penyelesaian secara cepat dan fundamental sebagai terobosan perubahan mendasar berkaitan dengan pendekatan dan tindakan JAKI sebagai salah satu kelompok masyarakat sipil di Indonesia ke rakyat, parlemen, Presiden beserta pemerintahannya yang terkait dalam hal penyelesaian kasus-kasus HAM secara menyeluruh dan cepat.
"Penguatan kelompok masyarakat sipil dan komunitas ini menjadi penting dalam mewujudkan penguatan demokrasi dan Hak Asasi Manusia," kata Yudi.
Persoalan HAM di Polri, menjadi salah satu yang disoroti oleh JAKI. Menurut Yudi, proses transformasi Kepolisian saat ini sedang terjadi. Dimana pasca masa-masa awal proses demokratisasi di Indonesia, yang sebelumnya Kepolisian berada di bawah institusi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), kemudian terjadi pemisahan institusi dan untuk melengkapi perlengkapan demokrasi tersebut, sistem Kepolisian menggunakan Democratic Policing System (Pemolisian dalam Sistem Demokratis). Pada awalnya, kata dia sistem kepolisian ini berjalan baik, namun di belakangan hari, terjadi beberapa kegagalan ketika sistem kepolisian demokratis tersebut dimanfaatkan oleh para pemenang demokrasi.
Kegagalan ini menurut dia sebenarnya hampir terjadi banyak negara di dunia, dan pada tahun 2019 seperti terjadi arus protes besar-besaran atas gagalnya Kepolisian dalam mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh sebagian besar kelompok masyarakat sipil secara global.
"Hal ini bersamaan dengan terjadinya polarisasi kekuatan politik demokrasi melawan kekuatan politik otokrasi yang proses pemilihannya dilakukan melalui demokrasi politik pemilihan umum, namun pemenangan dan praktek pasca kemenangan politiknya tergantung dari kekuatan mana yang memenangkannya. Kekuatan demokrasi kah atau kekuatan otokrasi, hal ini menjadi bersamaan dengan terjadinya defisit demokrasi," tandas Yudi.
Meski tidak semua program ini gagal, kata dia namun kegagalan sistem ini akan menjadi sesuatu kerusakan fatal, ketika Kepolisian tidak lagi menempatkan dirinya secara independen. Padahal tidak independennya Kepolisian ini justru terjadi karena adanya desakan kekuatan politik yang menguasai kemenangan demokrasi. Selain itu juga terjadi karena adanya oknum anggota kepolisian yang sengaja menunggangi institusinya sebagai kuda politiknya dalam mencapai kekuasaan politiknya.
"Namun, sejak Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dijabat oleh Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, proses transformasi dan reformasi institusi Kepolisian substansial mulai dijalankan. Hal ini diwujudkan dalam Program Presisi (Prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan). Dimana dari 4 (empat) point besarnya yang terdiri dari 16 (enam belas) sub pointnya dalam konteks reformasi Kepolisian untuk penanganan kasus-kasus Hak Asasi Manusia, Polri mulai melakukan reformasi internal dan hubungan eksternal dengan membuka ruang sosial dan partisipasi publik sebagai sistem yang didekati secara kultural," papar Yudi.
Hal ini, lanjut dia, dijalankan melalui pengawasan dan penindakan yang dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) berpraktek secara responsif untuk melakukan tindakan penyimpangan-penyimpangan anggotanya melalui pendisiplinan, sehingga masyarakat diberikan akses untuk melaporkan ketidakdisiplinan maupun pelanggaran anggotanya yang merugikan masyarakat sebagai user Kepolisian.
Selain itu melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), penanganan persoalan menyangkut pelanggaran kejahatan kemanusiaan dalam bidang keuangan ekonomi khusus, lingkungan hidup, perdagangan manusia, kejahatan siber, dalam konteks peretasan dan pencurian data pribadi, Polri juga menjalankan fungsinya secara responsif.
Terkait masalah penindakan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang berlatar belakang politik ataupun kritik sosial, kritik terhadap pemerintah, Polri mengedepankan penyelesaian melalui pendekatan restorative justice. Begitu juga dengan kejahatan umum lainnya.
"Dan dalam menjalankan fungsinya, saat ini Polri membangun Hubungan Masyarakat melalui Divisi Humas, Polri memperkuat partisipasi masyarakat sebesar-sebesarnya. Bahkan juga untuk penanganan kasus-kasus di luar kehumasan, seperti dalam penindakan tindak pidana ekonomi khusus, partisipasi publik menjadi relasi Polri yang diperkuat dengan kelompok masyarakat sipil," papar Yudi.
"Bahkan Polri juga merekrut pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipecat oleh KPK karena dianggap tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan salah satu komponen kekuatan kelompok masyarakat sipil yang selalu berpihak pada demokrasi, Hak Asasi Manusia dan pemberantasan korupsi. Perekrutan ini juga menjadi tindakan Polri dengan membentuk Satuan Tugas Khusus Tindak Pidana Korupsi (Satgassus Tipikor).
Meskipun begitu, harus diakui masih ada beberapa persoalan yang sedang dipersiapkan dalam penanganan kasus-kasus Hak Asasi Manusia lainnya seperti konflik agraria dan pelanggaran HAM lainnya," bebernya.
Namun sejak kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit, kata Yudi berbagai kemajuan telah dicapai baik dari perilaku kepemimpinan atau pembaruan sistem organisasinya. Untuk memperkuat Polri juga membentuk hubungan Polri deengan komunitas adat, kelompok masyarakat sipil, masyarakat lintas agama dan segala komunitas masyarakat lainnya melalui community policing (pemolisian komunitas). Polri sebagai instrumen keamanannya lebih mengarah ke civilian direction policing (pemolisian arahan sipil).
Namun memang Polri sebagai institusi keamanan yang berada di wilayah Pengayoman Masyarakat, Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) serta bagian Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) memerlukan dukungan kekuatan masyarakat sebagai mitra strategisnya.
"Dan untuk membangun relasi kekuatan masyarakat ini, tentu kekuatan masyarakat membutuhkan kekuatan politik secara legal formal yang seimbang dengan kekuatan Negara. Hal ini Pasal 1 ayat 2 UUD yang berbunyi 'Kedaulatan Berada di Tangan Rakyat dan diatur oleh UUD' dan Pasal 28 C ayat 2 yang berbunyi 'Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya'," kata Yudi.
Sistem peradilan pidana kejaksaan dan pengadilan juga menjadi penilaian dalam permasalahan HAM di Indonesia. Berbicara tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justrice System) dalam penangan kasus-kasus Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan (di bawah struktur Mahkamah Agung), kata Yudi memang memerlukan terobosan penting. Yaitu dengan didorongnya reformasi sistem peradilan, dimana dalam hal ini tentu tidak terlepas dari intervensi politik kemanusiaan dan keadilan di luar kebiasaan.
"Yaitu dapat dilakukan melalui kewenangan kekuasaan Presiden di bidang hukum bersama dengan para pihak pemilik otoritas dalam sistem peradilan pidana dan kekuatan rakyat baru yang dilembagakan secara khusus," paparnya.
JAKI juga menyarankan agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perlu lebih diperkuat, dengan berfungsi sebagai komisi yang lebih khusus, bukan saja berfungsi melakukan penelitian dan pemberian rekomendasi, akan tetapi juga diperkuat dengan diberikan hak eksekusi dalam penegakan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran HAM.
Oleh karena itu dibutuhkan pengadilan HAM yang di dalamnya terdapat jaksa peneliti, serta hakim khusus yang menangani HAM.
"Kita bisa mengikuti cara Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court /ICC), atau justru dengan ikut menandatangani Statuta Roma yang kemudian meratifikasinya menjadi perundang-undangan serta menjadi Negara Pihak dalam ICC. Perlu diingat bahwa bergabungnya Indonesia ke ICC itu adalah untuk menutup masalah lama dan membuka lembaran baru dalam menjalankan praktek penanganan kasus-kasus HAM baru," papar Yudi.
"Sehingga ketika Indonesia masuk menjadi anggota ICC kasus-kasus lama ditutup, dan secara efektif Indonesia baru memulai penanganan kasus HAM yang menangani kejahatan internasional, dimana terdiri dari kejahatan perang, kejahatan agresi, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida," sambungnya.
Peran politik dalam penyelesaian kasus-kasus Hak Asasi Manusia, kata dia tidak terlepas dari penguatan kekuatan rakyat yang dilembagakan. Hal ini merupakan bentuk penguatan negara dan rakyat sekaligus dalam menguatkan manifesto politik Indonesia, pembukaan UUD 45, dimana Pancasila terdapat di dalamnya dan menguatkan demokrasi dalam perwujudan kekuatan demokrasi ke-5.
Kekuatan demokrasi ke-5 berbentuk kekuatan rakyat yang dilembagakan setelah empat kekuatan demokrasi sebelumnya, yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media massa.
"Kekuatan ke-5 demokrasi ini adalah Fraksi Rakyat yang dilembagakan untuk mengisi kamar baru di parlemen dan berwujud Badan Partisipasi Warga. Dimana selain DPR, DPD maka Badan Partisipasi Warga merupakan salah satu kekuatan rakyat yang bekerja sebagai saluran rakyat warga untuk memberikan rakyat warga kekuatan politik secara langsung melalui partisipasinya," jelas Yudi.
"Kekuatan rakyat warga yang didapatkan dari Badan Partisipasi Warga ini, adalah hak rakyat warga dalam pemberian sanksi, resolusi, veto dan keteribatan rakyat warga dalam setiap keputusan negara. Seperti dalam hal pembuatan undang-undang dan keputusan-keputusan negara lainnya," lanjutnya.
Hak-hak kekuatan rakyat warga ini diatur melalui mekanisme yang ditentukan dan untuk masuknya Fraksi Rakyat berwujud Badan Partispasi Warga ke dalam konstitusi sebagai salah satu pasal UUD melalui proses perubahan konstitusi. Sedangkan untuk pengaturan mekanisme kekuatan rakyat warga secara legal formalnya seperti Sanksi, Resolusi, Veto dan Hak-Hak Kekuasaan Rakyat Warga lainnya, serta susunan kedudukan utusan-utusan rakyat warganya dapat diatur dengan undang-undang.
Kekuatan rakyat warga yang berbentuk partisipasi ini, diatur semisal dengan aturan ketika seorang individu atau kelompok masyarakat mengajukan partisipasi ke utusan-utusannya di parlemen yang berada di dalam Fraksi Rakyat dalam Badan Partisipasi Warga untuk mengajukan sanksi, resolusi atau veto, setelah dilakukan penyelidikan oleh Utusan-Utusan Rakyat Warga yang terdiri dari serikat buruh, kelompok masyarakat sipil, komunitas adat, golongan-golongan agama, sastrawan, perempuan, nelayan, petani, guru, pengusaha dan seluruh golongan dan kelompok kekuatan rakyat hingga keluarga rumah tangga dan individu sesuai partisipasi yang diajukannya.
"Maka ketika hasil penyelidikannya diterima, maka rakyat warga yang mengajukan partisipasi tersebut diminta untuk mengumpulkan suara yang ditentukan oleh aturan dalam waktu yang juga ditentukan oleh aturan. Semisal ketika partisipasi untuk menghentikan proyek sementara dari sebuah institusi karena tidak adanya bagi hasil yang adil, setelah diselidiki dan layak untuk dipartispasi rakyat warga, maka rakyat warga tersebut diberikan kesempatan semisal dalam waktu enam bulan untuk mengumpulkan dukungan semisal 1 juta suara (sesuai aturan yang disepakati nantinya), maka proyek tersebut dihentikan sampai memenuhi tuntutan dari partisipasi rakyat warga," jelas Yudi.
Untuk mewujudkan Fraksi Rakyat dalam wujud Badan Partisipasi Warga ini, kata dia, sebelum dimasukkannya pasal menyangkut ini ke dalam Konstitusi melalui Amandemen Konstitusi, maka Presiden dapat menerbitkan Peraturan Presiden Tentang Pembentukan Komite Fraksi Rakyat Sementara. Komite Fraksi Rakyat Sementara ini diberi tugas untuk menyusun dan menyiapkan Kedudukan Fraksi Rakyat yang berwujud Badan Partispasi Warga di Parlemen sebagai Kekuatan Rakyat Warga.
Namun juga Komite Fraksi Rakyat juga diberi tugas melakukan rekonsiliasi nasional berbasis sejarah, penyelasaian berbagai masalah konflik politik maupun sosial dari seluruh komponen Rakyat dan Bangsa dan membuat Kesepakatan Baru antara Rakyat dan Negara sebagai Konsensus Bersama. Hampir di seluruh dunia pernah terjadi perang maupun konflik politik akan tetapi ketika kita berbicara dalam penyelesaian kasus besar dan berdampak besar, pada akhirnya kita harus saling mengesampingkan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Akan tetapi ada satu tujuan besar bahwa persoalan kejahatan HAM dan Korupsi tidak akan pernah terjadi lagi di dunia ini. Selalu ada yang kecewa, akan tetapi kekecewaan tersebut tentu menghasilkan Jiwa-Jiwa Kepahlawanan tentang Kemanusiaan.
Tanpa diwujudkan Komite Fraksi Rakyat Sementara yang nantinya menjadi Fraksi Rakyat yang berwujud Badan Partisipasi Warga di Parlemen, persoalan kasus-kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia bukannya saja tidak dapat diselesaikan, melainkan justru akan semakin bertambah kasus-kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia. Karena penyelesaian kasus-kasus HAM tidak dapat diselesaikan dengan penyelesaian hukum konvensional.
"Yang nyatanya sampai saat ini kasus-kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia masih jauh dari keberhasilan. Begitu juga dengan penyelesaian kasus korupsi. Penyelesaian ini harus diselesaikan melalui cara yang di luar kebiasaan," tandas Yudi.