Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Sipil, Kawal Implementasi UU TPKS
Jakarta – UU No.12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang selama ini dinantikan banyak pihak memberikan harapan bagi kepastian hukum dalam penanganan kekerasan seksual, yang berorientasi melindungi dan memberikan keadilan bagi korban.
Project Manager GEDI Yayasan Humanis Inovasi Sosial (Hivos), Ni Loh Gusti Madewanti mengatakan, UU TPKS harus terus disosialisikan dan menjadi informasi serta pengetahuan publik, terutama bagi kelompok yang rentan menjadi korban.
Selain itu, pembuatan dan pengesahan aturan turunan yang dimandatkan UU TPKS juga perlu dikawal. Ada sembilan aturan turunan yang dimandatkan oleh UU TPKS. Di antaranya, empat peraturan pemerintah (PP) yang terdiri atas pembahasan seputar restitusi korban kekerasan seksual, unit pelayanan terpadu satu atap untuk korban, pencegahan tindak pidana kekerasan seksual, dan pendidikan serta pelatihan petugas di unit pelayanan terpadu.
“Juga turan turunan terkait dengan pemantauan implementasi UU TPKS dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres), penguatan kapasitas, baik pendamping korban, aparat penegak hukum, dan petugas unit pelayanan terpadu (UPTD),” kata Madewanti dalam diskusi publik dengan tema, “Refleksi Akhir Tahun: Setelah UU TPKS, Lalu Apa?,” di Jakarta, 12 Desember 2022.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania DF Iskandar mengatakan, pentingnya melanjutkan sinergi dan kolaborasi Pemerintah dan masyarakat sipil dengan terus mengawal implementasi dari UU TPKS. Ada tiga hal yang menjadi fokus utama, antara lain pemenuhan prosedur hukum, rehabilitasi psikologis, dan memfasilitasi penghitungan restitusi bagi korban.
LPSK mendorong Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang dana bantuan korban tindak pidana kekerasan seksual. Pasal 1 angka 21 UU TPKS menyebutkan dana bantuan korban adalah dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual.
“Hak restitusi menjadi penting bagi korban untuk menata hidup ke depan. Dari rehabilitasi psikologis, Kami menerbitkan standar buku panduan rehabilitasi psikologis bagi korban TPKS,” kata Livia.
Selain itu, pihaknya sedang membangun Pusat Perlindungan dan Pendampingan korban TPKS. Termasuk juga ada standard pelayanan dan pendampingan korban TPKS.
“Pentingnya kesadaran perlindungan korban. sehingga subjek korban bisa merasa aman dan yakin, terutama saat memberikan kesaksian di pengadilan. Kasus-kasus ayah kandung atau tiri umumnya justru keluarga besarnya yang mem-bully korban untuk mencabut laporannya. bahkan ada kasus ibunya sendiri yang meminta untuk mencabut laporan,” imbuh Livia.
Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri, Kombes Polisi Ciceu Cahyati Dwimeilawati mengungkapkan, sejak 7 bulan disahkan, implementasi UU TPKS masih memiliki kendala dan hambatan, terutama pada bagian sosialisasi. Pihaknya terus berbenah, kami terus melakukan sosialisasi internal untuk menanamkan pemahaman pada aparat penegak hukum agar punya perspektif keberpihakan dan pendampingan kepada korban, serta perspektif penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada korban kekerasan seksual. Saat ini, dari 20.613 kasus di seluruh Indonesia, baru 72 kasus yang menerapkan UU TPKS.
“Terkait peningkatan kemampuan, kami terus melakukan diklat kepada SDM Kepolisian. Agar dalam penanganan kasus TPKS personil kami lebih profesional. Penyidiknya khusus TPKS. Dari 3.204 personel unit PPA di seluruh Indonesia, sekitar 50% sudah mendapatkan pelatihan. Kami sudah melakukan supervisi di 18 Polda, terutama penanganan TPKS,” ungkap Ciceu.
Lanjut Ciceu, Polri, Kementerian PPA, masyarakat sipil dan stakeholder terkait masih menggodok Strategi Nasional Penurunan Kekerasan Terhadap Perempuan. Pihaknya bersama Kementerian PPA dan Kejaksaan sedang menyusun pedoman implementasi UU TPKS.
“Ini langkah-langkah yang sudah dilakukan Kepolisian. Kami tetap berupaya dari segi regulasi,” pungkas Ciceu.
Sebelumnya, Acara bertema, “Refleksi Akhir Tahun: Setelah UU TPKS, Lalu Apa?”, menjadi bagian kampanye sosialisasi UU TPKS dan apresiasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam percepatan pembahasan dan pengesahan TPKS UU no. 12 tahun 2022. Selain peluncuran buku dan film, refleksi akhir tahun ini juga mengadakan diskusi panel yang dihadiri oleh: dr. Alegra Wolter, Dokter dan Aktivis Gender; Mutiara Ika Pratiwi, Ketua Perempuan Mahardhika; Sa'adah Nukha, Forum Pengada Layanan; Maidina Rachmawati, ICJR; Dr Khaerul Umam Noer, Ketua Gender Studies Forum; Alimah M.Ikom, Founder Perempuan Berkisah dan dimoderatori oleh Madewanti mewakili Yayasan Hivos.