JAKI: Reformasi Bukan Tempatkan Polri di Kementerian, Tapi Mitra dengan Masyarakat
Kamis, 06 Januari 2022 - 19:29 WIB
JAKARTA-- Publik tengah ramai membicarakan perihal reformasi Polri. Terutama mengenai apakah Polri tetap berada di bawah kekuasaan presiden langsung, atau berada di bawah kementerian.
Menurut Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) Yudi Syamhudi Suyuti, masalah reformasi Kepolisian sebenarnya bukan saja dibahas di masyarakat Indonesia saja, tapi juga di sebagian besar masyarakat dunia. Baik itu di Amerika Serikat, Eropa hingga masyarakat di wilayah Asia.
Namun, dari pembahasan menyangkut reformasi Kepolisian, yang banyak dibahas adalah bukan posisi lembaga Kepolisian berada di bawah presiden atau di bawah kementerian.
"Melainkan justru bagaimana Kepolisian mampu bertindak sebagai alat negara untuk kepentingan sebesar-besarnya keamanan warga negara dan bagian dari sistem peradilan pidana dalam pencegahan dan penegakan hukum masalah-masalah pemidanaan," kata Yudi, Kamis (6/1), dalam keterangan tertulis.
Hal ini, lanjut Yudi, berkaitan dengan bagaimana Polri mampu menjunjung tinggi prinsip-prinsip supremasi keadilan dan kemanusiaan dalam sistem rule of law (supremasi hukum), yang menjadi basis penataan masyarakat. Hal ini tentu menurutnya tidak terlepas dengan sistem demokrasi yang terus berkembang. Termasuk berkembangnya teknologi informasi media sosial yang mendorong lahirnya kekuatan kelima demokrasi, yaitu kekuatan rakyat.
Kekuatan kelima demokrasi ini merupakan perkembangan empat kekuatan demokrasi sebelumnya, yang terdiri dari kekuatan eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa.
"Polri harus mampu beradaptasi dengan perkembangan ini yang nantinya, rakyat warga negara akan memiliki kekuatan formal, seperti yang telah diterapkan di Eropa melalui ECI (European Citizen Initiative) dan juga sedang diperjuangkan untuk diterapkan di lembaga global PBB sebagai UNWCI (UN World Citizen Initiative)," papar Yudi.
Saat ini, kata Yudi, Polri pada prinsipnya telah memulai proses reformasi sejak pimpinan lembaga tersebut dikomandoi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ini, kata dia menjadi penting untuk diamati, karena dalam segi kepemimpinan Kapolri Sigit menjadi berbeda dengan tradisi kepemimpinan Kapolri sebelum-sebelumnya.
"Kapolri saat ini bisa dikatakan lebih memaksimalkan lembaganya sebagai lembaga yang bersifat kemasyarakatan (civilian police)., Meskipun Kapolri baru ini kita akui tidak mudah untuk menggerakkan perubahan di tubuh institusi Kepolisian yang dipimpinnya, namun proses perubahan telah dimulai dengan pendekatan kultural. Dimana kepemimpinan menjadi arus utama dalam proses perubahan Polri beserta instrumen-instrumen di dalamnya," ujarnya.
Yudi menuturkan, ada beberapa hal yang Kapolri Sigit lakukan adalah menyangkut reformasi organisasi dalam hal perubahan perilaku. Dari mulai membuka diri untuk menerima kritik, melakukan tindakan-tindakan tegas pada anggota yang melanggar aturan dan mempermudah proses pelaporan masyarakat. Selain itu dengan program Presisi-nya, Kapolri ingin mendorong transparansi dan tindakan-tindakan pencegahan.
"Meskipun, tindakan tegas juga menjadi langkah Polri dalam hal penanganan kasus hukum yang memang harus dilakukan," ungkap Yudi.
Eksistensi Polri dalam sistem keamanan di Indonesia, sambung dia, tentu juga tidak terlepas dari induk sejarahnya, dimana pada masa lalu Polri merupaan bagian dari ABRI dalam kesatuan sistem pertahanan dan keamanan negara. Namun, menurutnya ketika reformasi maka Polri dipisahkan dari ABRI dan langsung berada di bawah kekuasaan Presiden. Memang, nantinya diperlukan Polri yang lebih independen dari saat ini, namun tentu dibutuhkan waktu bertahap. Dan hal ini, tentu kembali lagi kepada karakter kepemimpinan (leadership).
"Artinya Polri benar-benar menjadi lembaga milik masyarakat seperti reformasi kepolisian yang sedang dijalankan di beberapa negara bagian Amerika Serikat paska peristiwa Capitol Hill," tandasnya.
"Untuk itu, dalam reformasi Polri yang harus lebih ditekankan terus-menerus adalah bagaimana Polri mampu membangun keterlibatan masyarakat sebagai mitra dalam sistem keamanan masyarakat (public security). Dengan menempatkan institusi keamanan di tengah-tengah sistem masyarakat dan negara yang demokratis," kata Yudi.
Menurut Yudi, di sinilah peran kelompok masyarakat sipil dibutuhkan untuk bersama mengorganisir sel-sel keamanan warga. Baik di tingkat wilayah dari tingkat RT, maupun di tingkat komunitas dan setiap individu. Artinya, setiap warga Negarau harus memiliki keamanan yang solid dan terjamin.
"Tentu untuk mencapai situasi keamanan warga ini, kerja sama Polri dan kelompok masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Selain itu, teknologi juga bagian penting dalam pembangunan keamanan warga," ujarnya.
Stabilitas keamanan ini, kata Yudi tentu akan berdampak pada bukan saja stabilitas sosial melainkan mampu mendorong peningkatan dalam hal pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Begitu juga dalam bidang-bidang pembangunan lainnya.
Reformasi Polri saat ini, menurutnya telah dimulai dan harus terus didukung dengan keterlibatan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya dalam hal sistem keamanan dan sistem peradilan pidana.
"Sehingga keamanan dan keadilan yang berkelanjutan dapat terwujud dalam waktu yang cepat. Dan tentunya akan mendorong Polri yang lebih independen," tandas Yudi.
Menurut Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) Yudi Syamhudi Suyuti, masalah reformasi Kepolisian sebenarnya bukan saja dibahas di masyarakat Indonesia saja, tapi juga di sebagian besar masyarakat dunia. Baik itu di Amerika Serikat, Eropa hingga masyarakat di wilayah Asia.
Namun, dari pembahasan menyangkut reformasi Kepolisian, yang banyak dibahas adalah bukan posisi lembaga Kepolisian berada di bawah presiden atau di bawah kementerian.
"Melainkan justru bagaimana Kepolisian mampu bertindak sebagai alat negara untuk kepentingan sebesar-besarnya keamanan warga negara dan bagian dari sistem peradilan pidana dalam pencegahan dan penegakan hukum masalah-masalah pemidanaan," kata Yudi, Kamis (6/1), dalam keterangan tertulis.
Hal ini, lanjut Yudi, berkaitan dengan bagaimana Polri mampu menjunjung tinggi prinsip-prinsip supremasi keadilan dan kemanusiaan dalam sistem rule of law (supremasi hukum), yang menjadi basis penataan masyarakat. Hal ini tentu menurutnya tidak terlepas dengan sistem demokrasi yang terus berkembang. Termasuk berkembangnya teknologi informasi media sosial yang mendorong lahirnya kekuatan kelima demokrasi, yaitu kekuatan rakyat.
Kekuatan kelima demokrasi ini merupakan perkembangan empat kekuatan demokrasi sebelumnya, yang terdiri dari kekuatan eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa.
"Polri harus mampu beradaptasi dengan perkembangan ini yang nantinya, rakyat warga negara akan memiliki kekuatan formal, seperti yang telah diterapkan di Eropa melalui ECI (European Citizen Initiative) dan juga sedang diperjuangkan untuk diterapkan di lembaga global PBB sebagai UNWCI (UN World Citizen Initiative)," papar Yudi.
Saat ini, kata Yudi, Polri pada prinsipnya telah memulai proses reformasi sejak pimpinan lembaga tersebut dikomandoi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ini, kata dia menjadi penting untuk diamati, karena dalam segi kepemimpinan Kapolri Sigit menjadi berbeda dengan tradisi kepemimpinan Kapolri sebelum-sebelumnya.
"Kapolri saat ini bisa dikatakan lebih memaksimalkan lembaganya sebagai lembaga yang bersifat kemasyarakatan (civilian police)., Meskipun Kapolri baru ini kita akui tidak mudah untuk menggerakkan perubahan di tubuh institusi Kepolisian yang dipimpinnya, namun proses perubahan telah dimulai dengan pendekatan kultural. Dimana kepemimpinan menjadi arus utama dalam proses perubahan Polri beserta instrumen-instrumen di dalamnya," ujarnya.
Yudi menuturkan, ada beberapa hal yang Kapolri Sigit lakukan adalah menyangkut reformasi organisasi dalam hal perubahan perilaku. Dari mulai membuka diri untuk menerima kritik, melakukan tindakan-tindakan tegas pada anggota yang melanggar aturan dan mempermudah proses pelaporan masyarakat. Selain itu dengan program Presisi-nya, Kapolri ingin mendorong transparansi dan tindakan-tindakan pencegahan.
"Meskipun, tindakan tegas juga menjadi langkah Polri dalam hal penanganan kasus hukum yang memang harus dilakukan," ungkap Yudi.
Eksistensi Polri dalam sistem keamanan di Indonesia, sambung dia, tentu juga tidak terlepas dari induk sejarahnya, dimana pada masa lalu Polri merupaan bagian dari ABRI dalam kesatuan sistem pertahanan dan keamanan negara. Namun, menurutnya ketika reformasi maka Polri dipisahkan dari ABRI dan langsung berada di bawah kekuasaan Presiden. Memang, nantinya diperlukan Polri yang lebih independen dari saat ini, namun tentu dibutuhkan waktu bertahap. Dan hal ini, tentu kembali lagi kepada karakter kepemimpinan (leadership).
"Artinya Polri benar-benar menjadi lembaga milik masyarakat seperti reformasi kepolisian yang sedang dijalankan di beberapa negara bagian Amerika Serikat paska peristiwa Capitol Hill," tandasnya.
"Untuk itu, dalam reformasi Polri yang harus lebih ditekankan terus-menerus adalah bagaimana Polri mampu membangun keterlibatan masyarakat sebagai mitra dalam sistem keamanan masyarakat (public security). Dengan menempatkan institusi keamanan di tengah-tengah sistem masyarakat dan negara yang demokratis," kata Yudi.
Menurut Yudi, di sinilah peran kelompok masyarakat sipil dibutuhkan untuk bersama mengorganisir sel-sel keamanan warga. Baik di tingkat wilayah dari tingkat RT, maupun di tingkat komunitas dan setiap individu. Artinya, setiap warga Negarau harus memiliki keamanan yang solid dan terjamin.
"Tentu untuk mencapai situasi keamanan warga ini, kerja sama Polri dan kelompok masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Selain itu, teknologi juga bagian penting dalam pembangunan keamanan warga," ujarnya.
Stabilitas keamanan ini, kata Yudi tentu akan berdampak pada bukan saja stabilitas sosial melainkan mampu mendorong peningkatan dalam hal pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Begitu juga dalam bidang-bidang pembangunan lainnya.
Reformasi Polri saat ini, menurutnya telah dimulai dan harus terus didukung dengan keterlibatan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya dalam hal sistem keamanan dan sistem peradilan pidana.
"Sehingga keamanan dan keadilan yang berkelanjutan dapat terwujud dalam waktu yang cepat. Dan tentunya akan mendorong Polri yang lebih independen," tandas Yudi.
(sra)