Tak Tepat Sasaran, Hanya 40 Persen Masyarakat Tak Mampu Penerima Subsidi BBM
Jum'at, 26 Agustus 2022 - 13:44 WIB
Jakarta -- Presiden Joko Widodo, di Istana Merdeka, telah menegaskan bahwa subsidi BBM sudah terlalu besar. Dari Rp170 triliun, kini menjadi Rp502 triliun.
Karena itu, pemerintah tengah menghitung ulang terkait besarnya subsidi BBM ini yang tidak sepenuhnya tepat sasaran dan banyak dinikmati mereka yang tak seharusnya menerima subsidi.
Asisten Deputi Bidang Industri Energi, Minyak dan Gas Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Abdi Mustakim, mengatakan berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebanyak 60 persen pengguna BBM bersubsidi adalah masyarakat mampu. Adapun lembaga lainnya ada yang mencatat 70 persen BBM bersubsidi digunakan oleh masyarakat mampu.
"Jadi hanya maksimal 40 persen BBM bersubsidi yang dinikmati oleh masyarakat kurang mampu, yang memang menjadi target dari subsidi itu sendiri," kata Abdi dalam acara Ngobrol Tempo bertajuk 'Subsidi BBM untuk Siapa', di Gedung Tempo, Kamis, 25 Agustus 2022.
Menurutnya, Pertamina melaporkan data tersebut kepada kementerian maupun lembaga terkait agar menjadi pertimbangan. Sebab, peningkatan subsidi secara drastis ini karena kenaikan harga minyak dunia.
Ia pun mengaku sulit memastikan agar subsidi BBM tepat sasaran. Sebab, hal ini pernah terjadi saat lebaran petugas di SPBU menegakkan aturan pembatasan solar. Namun, saat itu petugas di lapangan malah ditentang masyarakat.
"Ditentang pengemudi truk, membahayakan atau menjadi risiko untuk dirinya secara pribadi. Sampai sebegitunya kita berusaha untuk memstikan BBM bersubsidi ini tepat sasaran," ujarnya.
Karena itu, Abdi menyarankan, subsidi BBM perlu ditinjau kembali agar bisa dilakukan penghematan untuk pembangunan di sektor yang lain. Menurutnya, subsidi energi ini yang paling tinggi dalam sejarah yakni 502 triliun.
"Karena kebijakan yang diambil itu betul-betul dengan pertimbangan paling baik untuk negara dalam jangka panjang bukan untuk menyusahkan masyarakat," kata dia.
Adapun, Pengamat Migas dan Energi Ari Soemarno, mengatakan, sebenarnya subsidi BBM ini sudah berlangsung sejak orde lama, dan kemudian berlanjut pada orde baru.
"Dari awal udah disadari bahwa subsidi ini tidak adil. Semua menikmati, karena umum dijual bebas," ujar Ari.
Menurutnya, agar subsidi BBM tepat sasaran sudah banyak diwacanakan untuk mengubah subsidi ini menjadi subsidi langsung, yaitu memberikan bantuan langsung kepada orang yang kembutuhkan, seperti BLT.
"Kemudian bisa juga menargetkan komoditas itu kepada yang berhak, yaitu dengan penjatahan," kata Ari
Redaktur Tempo, Ali Nur Yasin, mengatakan, memang sejak orde lama hingga orde baru, subsidi BBM selalu ada dalam APBN. "Nah belakangan sejak reformasi subsidi itu menjadi komoditas politik, harusnya yang namanya produk bbm itu menjadi produk ekonomi," kata Ali.
Namun, di Indonesia kenaikan harga BBM selalu diputuskan dalam kebijakan politik. "Menurut saya ini yang harusnya dihindari oleh pemerintah," ujarnya.
Juga harus dipahami, Ali melanjutkan, bahwa anggaran 502 triliun itu adalah anggaran yang sangat banyak jika hanya untuk menyediakan BBM di seluruh Indonesia dan itu habis untuk dibakar.
"Publik harus diedukasi bahwa yang namanya BBM itu bukan produk yang murah, tapi produk mahal. Dan, kemampuan Indonesia untuk memproduksi minyak itu sudah terbatas," ujarnya.
Karena itu, pemerintah tengah menghitung ulang terkait besarnya subsidi BBM ini yang tidak sepenuhnya tepat sasaran dan banyak dinikmati mereka yang tak seharusnya menerima subsidi.
Asisten Deputi Bidang Industri Energi, Minyak dan Gas Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Abdi Mustakim, mengatakan berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebanyak 60 persen pengguna BBM bersubsidi adalah masyarakat mampu. Adapun lembaga lainnya ada yang mencatat 70 persen BBM bersubsidi digunakan oleh masyarakat mampu.
"Jadi hanya maksimal 40 persen BBM bersubsidi yang dinikmati oleh masyarakat kurang mampu, yang memang menjadi target dari subsidi itu sendiri," kata Abdi dalam acara Ngobrol Tempo bertajuk 'Subsidi BBM untuk Siapa', di Gedung Tempo, Kamis, 25 Agustus 2022.
Menurutnya, Pertamina melaporkan data tersebut kepada kementerian maupun lembaga terkait agar menjadi pertimbangan. Sebab, peningkatan subsidi secara drastis ini karena kenaikan harga minyak dunia.
Ia pun mengaku sulit memastikan agar subsidi BBM tepat sasaran. Sebab, hal ini pernah terjadi saat lebaran petugas di SPBU menegakkan aturan pembatasan solar. Namun, saat itu petugas di lapangan malah ditentang masyarakat.
"Ditentang pengemudi truk, membahayakan atau menjadi risiko untuk dirinya secara pribadi. Sampai sebegitunya kita berusaha untuk memstikan BBM bersubsidi ini tepat sasaran," ujarnya.
Karena itu, Abdi menyarankan, subsidi BBM perlu ditinjau kembali agar bisa dilakukan penghematan untuk pembangunan di sektor yang lain. Menurutnya, subsidi energi ini yang paling tinggi dalam sejarah yakni 502 triliun.
"Karena kebijakan yang diambil itu betul-betul dengan pertimbangan paling baik untuk negara dalam jangka panjang bukan untuk menyusahkan masyarakat," kata dia.
Adapun, Pengamat Migas dan Energi Ari Soemarno, mengatakan, sebenarnya subsidi BBM ini sudah berlangsung sejak orde lama, dan kemudian berlanjut pada orde baru.
"Dari awal udah disadari bahwa subsidi ini tidak adil. Semua menikmati, karena umum dijual bebas," ujar Ari.
Menurutnya, agar subsidi BBM tepat sasaran sudah banyak diwacanakan untuk mengubah subsidi ini menjadi subsidi langsung, yaitu memberikan bantuan langsung kepada orang yang kembutuhkan, seperti BLT.
"Kemudian bisa juga menargetkan komoditas itu kepada yang berhak, yaitu dengan penjatahan," kata Ari
Redaktur Tempo, Ali Nur Yasin, mengatakan, memang sejak orde lama hingga orde baru, subsidi BBM selalu ada dalam APBN. "Nah belakangan sejak reformasi subsidi itu menjadi komoditas politik, harusnya yang namanya produk bbm itu menjadi produk ekonomi," kata Ali.
Namun, di Indonesia kenaikan harga BBM selalu diputuskan dalam kebijakan politik. "Menurut saya ini yang harusnya dihindari oleh pemerintah," ujarnya.
Juga harus dipahami, Ali melanjutkan, bahwa anggaran 502 triliun itu adalah anggaran yang sangat banyak jika hanya untuk menyediakan BBM di seluruh Indonesia dan itu habis untuk dibakar.
"Publik harus diedukasi bahwa yang namanya BBM itu bukan produk yang murah, tapi produk mahal. Dan, kemampuan Indonesia untuk memproduksi minyak itu sudah terbatas," ujarnya.
(sra)