Denny JA: Artificial Intelligence Sudah Menjadi Penceramah Agama

Jum'at, 07 April 2023 - 06:43 WIB
Ketua umum Satupena Denny JA memberikan pidato pembuka pada acara buka bersama dan silaturahmi yang dihadiri oleh sekitar 60 orang tokoh, penulis, akademisi serta sastrawan Indonesia di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat. Kamis, 6 April 2023.
click to zoom
Ketua umum Satupena Denny JA memberikan pidato pembuka pada acara buka bersama dan silaturahmi yang dihadiri oleh sekitar 60 orang tokoh, penulis, akademisi serta sastrawan Indonesia di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat. Kamis, 6 April 2023.
click to zoom
Acara buka puasa tersebut diwarnai dengan penampilan musik religi, tari sufi, siraman rohani oleh Gurubesar Ekonomi Politik IPB), Prof. Didin S Damanhuri, pembacaan doa oleh Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, serta pembacaan puisi oleh sejumlah tokoh, penulis dan sastrawan kawakan seperti Jose Rizal, Monica JR, Ahmad Gaus dan Edrida Pulungan.
click to zoom
JAKARTA - Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di abad ke-21 menciptakan banyak hal yang bahkan tidak terpikirkan manusia di zaman-zaman sebelumnya. Salah satunya adalah penceramah agama yang kini mulai digantikan oleh robot dengan teknologi artificial intelligence (AI).

Begitu dikatakan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Denny JA saat membuka acara buka puasa Satupena di Kedai Tjikini, Jakarta pada Kamis sore (6 April 2023).

Acara buka puasa tersebut diwarnai dengan penampilan musik religi, tari sufi, siraman rohani oleh Gurubesar Ekonomi Politik IPB), Prof. Didin S Damanhuri, pembacaan doa oleh Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, serta pembacaan puisi oleh sejumlah tokoh, penulis dan sastrawan kawakan seperti Jose Rizal, Monica JR, Ahmad Gaus dan Edrida Pulungan.

Selain itu, pada acara yang sama hadir juga sejumlah tokoh lainnya seperti Ilham Bintang, Gemala Hatta, Agus R Sarjono, Musdah Mulia, Bachtiar Aly, Cita Noerhadi, Wina Armada, Nasir Tamara, dan Alimatul Qibtiyah.

Pada pidato yang sama, Denny JA menekankan bahwa robot penceramah dengan teknologi AI ini hadir di sebuah kuil Buddha bernama Kodaiji Temple di Kyoto, Jepang. Diberitakan oleh CNN pada 2019, sang robot biksu berteknologi AI ini fasih mengutip ayat kitab suci dan hikmah, sementara para penganut Buddha di sana diam tafakur mendengarkan khotbah.

Biksu Budha Kodaiji Temple, Tensho Goto, menceritakan bahwa kuil tersebut sudah berusia lebih dari 400 tahun. Hanya beberapa tahun belakangan, mereka terpikir menampilkan pendeta yang sangat hebat dalam bentuk robot dengan teknologi AI yang diberi nama Mindar dan menghabiskan dana sekitar USD1 juta atau Rp15 miliar untuk menciptakannya.

“Biksu biasa akan mati dan pengetahuannya terhenti. Sementara biksu Mindar dari robot artificial intelligence ini terus hidup. Pengetahuan robot ini juga akan terus bertambah karena selalu diupdate lagi dan lagi oleh informasi dan ceramah yang baru,” kata Denny JA, mengutip Biksu Tensho Goto.

Ia juga menyebut, manusia kini dibuat terpana dengan hadirnya teknologi AI yang juga sudah berfungsi dalam ritus agama. Lalu, timbul pertanyaan di mana peran agama agar fungsional di era ketika teknologi AI pun sudah menjadi penceramah agama.

Menurut Denny JA, untuk menjawab tersebut dapat dimulai dengan data dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO pada 2018 yang cukup mencengangkan. Dalam data tersebut tercatat, setiap 40 detik, satu orang di seluruh dunia mati bunuh diri. Dalam setahun, sekitar 800 ribu individu memilih mati bunuh diri. Tak hanya sangat tinggi, angka ini bahkan lebih besar dibandingkan orang yang mati karena bencana alam digabung dengan terorisme dan perang.

Saat dunia modern kini dipenuhi gedung pencakar langit hingga makin canggihnya teknologi kecerdasan buatan (AI), menyebar pula para individu yang kehilangan makna hidup dan memilih mati bunuh diri.

Oleh karena itu, katai Denny JA, kompleksitas umumnya manusia memang tak bisa semata dicukupkan oleh kelimpahan ekonomi dan teknologi tinggi. Sebab, kini hadir sejenis kehampaan spiritualitas yang derajatnya berbeda-beda pada banyak individu.

Denny JA mengungkapkan, di dunia barat, kebutuhan pada spiritualitas itu kini ditandai dengan menjamurnya kelas meditasi. Majalah Forbes pada 2020 melaporkan bahwa bisnis meditasi meningkat sangat tajam di Amerika Serikat. Bahkan, pada 2022, bisnis meditasi diprediksi mencapai angka USD2 miliar atau setara Rp30 triliun. Berbagai perusahaan besar menyediakan kelas meditasi bagi karyawannya, antara lain Apple, Yahoo, Google, Nike, HBO, hingga McKinsey and Co.

“Para CEO perusahaan besar merasakan meditasi itu bisa ikut menjadi solusi untuk mengatasi kegelisahan dan kesehatan mental banyak karyawan. Kompetisi yang tinggi di dunia modern dan banyaknya problem dalam relasi sosial melahirkan problem mental sendiri,” ujarnya.

Denny JA juga mengungkapkan fenomena unik lainnya yang terjadi di Jepang, di mana rasa kesepian banyak individu di Negeri Sakura sudah sangat parah. Bahkan, pada 2021, Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menunjuk Tetsushi Sakamoto sebagai menteri untuk urusan kesepian atau loneliness minister. Pada era Covid-19, Tetsushi Sakamoto diberi tugas mengatasi banyaknya angka bunuh diri, keputusasaan dan problem kesepian.

“Dulu kementerian mengurus soal politik, ekonomi, budaya, dan hubungan internasional. Karena desakan keadaan, ada pula menteri yang secara khusus tugasnya mencari solusi bagi warga negara yang kesepian dan hendak bunuh diri. Di banyak negara lain, mereka mencari solusi atas kebutuhan spiritual kepada harta terpendam, sisi spiritual dari agama yang ada, yang selama ini tertutupi oleh praktik agama mainstream yang formalistik,” ungkap Denny JA.

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini menambahkan, gerakan mencari spiritualitas baru juga menjadi kritik. Sebab, kekosongan spiritual dunia modern itu juga diakibatkan dekadensi banyak institusi agama mainstream.

Selain itu, dunia juga menyaksikan terputusnya ajaran moral dari agama dengan perilaku sosial penganut agama itu sendiri. Dalam banyak kasus, kesalehan penganut agama hanya berhenti pada kesalehan ritus agama belaka, namun tak berlanjut dan tak berbuah pada kesalehan perilaku sosial penganutnya.

Denny JA pun mencontohkan kasus yang terjadi di Indonesia, di mana pada 2011, riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa Kementerian Agama menjadi yang paling korup dari 22 institusi publik. Padahal, Kementerian Agama yang diharapkan menyebarkan gagasan hidup yang amanah dan jujur, malah menjadi sarang korupsi paling parah.

Indonesia pun menjadi negara yang dianggap tingkat korupsinya buruk dalam peringkat dunia. Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini justru tak masuk Top 100 kategori pemerintahan yang bersih. Indonesia hanya bertengger di urutan ke-110 yang terlihat dari index korupsi yang dikembangkan oleh Transparency International (CPI, 2022).

Namun, hal itu tak hanya dialami Indonesia yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, namun di banyak negara dengan mayoritas agama lainnya. India dengan populasi Hindu terbesar terpuruk di ranking 85. Lalu, Thailand dengan populasi Buddha terbanyak, ada di urutan 101. Sementara, Brasil dengan populasi Katolik terbesar ada di ranking 94.

“Ini menjadi pertanyaan, mengapa agama yang dipeluk oleh mayoritas populasi negara itu tak berujung pada kehidupan publik yang bersih dan jujur setidaknya untuk soal korupsi? Mengapa ada jarak antara ajaran agama dan perilaku sosial penganutnya? Bukankah di negara yang mayoritas penduduk menganggap agama sangat penting, negara itu harus masuk menjadi Top 10 negara paling bersih dari korupsi? Mengapa yang terjadi justru sebaliknya?” ujar Denny JA.

Denny JA mengatakan, pada masa ini agama sudah meredup sebagai kekuatan akhlak. Padahal, dalam fungsi akhlak itulah harta termahal agama. Justru yang ramai adalah ritus agama yang tak membuahkan perilaku sosial yang sesuai.

Menurut Denny JA, agama harus dihidupkan kembali sebagai kekuatan akhlak dan sebagai agama akhlak, namun agama akhlak dengan mindset abad 21. Hal itu berbeda dengan agama akhlak pada masa ketika umumnya agama dilahirkan di era awal Masehi.

Dia menjelaskan, abad 21 memiliki mindset yang sudah berubah dengan dua hal yang dominan. Pertama, datangnya era ilmu pengetahuan, di mana ruang publik kini lebih diwarnai oleh arahan temuan ilmiah. Penganut agama di era ini harus mengikhlaskan ilmu pengetahuan yang berperan di ruang publik untuk kebijakan publik.

Kedua, datangnya negara nasional yang membuat konsep umat berubah menjadi konsep warga negara. Dalam konsep umat, identitas masyarakat adalah satu agama. Jika ada umat agama lain, posisinya tersubordinasi. Namun, dalam konsep warga negara, semua diperlakukan sama dan sejajar apapun agamanya. Penganut agama pun harus mengikhlaskan kesetaraan sosial bagi aneka agama.

“Di abad 21, ruang publik lebih dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan hukum negara nasional. Tapi, kebersihan dan kesucian akhlak tak bisa sepenuhnya dibangkitkan oleh kelimpahan ekonomi dan teknologi tinggi. Di sinilah lokasi agama. Agama akhlak membentuk individu untuk hidup yang teguh dengan prinsip kebajikan, keadilan, dan keberanian melawan kemungkaran. Dari perjuangan akhlak itu pula tercipta meaning of life,” kata Denny JA.

Denny JA juga menyebut bahwa Ramadhan, bagi umat Muslim, menjadi momen yang panjang yang dapat menghidupkan kembali driving force agama di dalam diri untuk menjadi kekuatan akhlak.

“Tindakan beragama perlu kita tafsirkan sebagai kegiatan yang fokus membersihkan akhlak. Itu perbuatan yang terus menerus membersihkan diri, menyucikan pikiran. Ini agar hati kita semakin diisi oleh prinsip compassion, prinsip kebajikan, prinsip berbagi dan prinsip keadilan,” pungkasnya. *
(sra)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Foto Terkait
Foto Terpopuler
Foto Terkini More