Penutupan Media Pro-Demokrasi Stand News Hongkong, PB HMI : Ini Membunuh Kebebasan Pers
JAKARTA-- Media pro-demokrasi Stand News Hongkong ditutup oleh pihak kepolisian atas tuduhan melakukan pelanggaran “publikasi hasutan” pada Rabu, 28 Desember 2021 yang lalu. Ratusan polisi menggerebek kantor dan menangkap enam orang termaksud staf senior.
Menyikapi hal tersebut, Pejabat Ketua Umum Pegurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Romadhon Jans, sangat menyayangkan tindakan aparat penegak hukum yang tidak memahami hakikat tugas dan kewajibannya dalam menjamin perlindungan hak dan penegakan hukum atas kebebasan pers. Ia menggagap penutupan Media pro-demokrasi Stand News Hongkong berpotensi besar untuk membungkam, membelenggu, membunuh kebebasan pers dan membatasi hak atas pemenuhan informasi.
“Penutupan Media pro-demokrasi Stand News Hongkong berupa perampasan alat-alat jurnalis, peretasan, hingga penangkapan berpotensi besar untuk membungkam kebebasan pers dan membatasi hak atas pemenuhan informasi," kata Don panggilan akrab orang Nomor satu di HMI, Kamis (30/12).
Lebih lanjut, kata Romadhon mengungkapkan bahwa Pers tidak dapat dikooptasi oleh kepentingan dari pihak manapun untuk memberikan informasi fakta dan kebenaran ditengah-tengah masyarakat. “Pers tidak bisa dikekang, ditekan, diintimidasi, diancam untuk tujuan membungkam sebuah kebenaran. Hal tersebut tidak bisa dilakukan di zaman sekarang ditengah keterbukaan informasi publik," ujarnya.
Diketahui Stand News, didirikan pada tahun 2014 sebagai nirlaba, merupakan publikasi pro-demokrasi paling menonjol yang tersisa di negeri Pearl of orient setelah penyelidikan keamanan nasional pada awal tahun ini menyebabkan penutupan sebuah tabloid ikonik Apple Daily milik taipan Jimmy Lai yang dipenjara. Surat kabar pro-demokrasi Apple Daily tersebut terpaksa ditutup setelah 26 tahun usai menjadi sasaran tindakan keras UU Keamanan Nasional Hong Kong.
Menurut Romadhon Penutupan dan pembredelan adalah serangan serius bagi kebebasan pers Hong Kong dan dunia, pasalnya hal tersebut dapat berpotensi menghancurkan reputasinya sebagai pusat media yang terbuka dan bebas setelah Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang represif di pusat keuangan global tahun lalu.
“Penutupan dan pembredelan merupakan masalah serius yang mesti disikapi bersama mengingat Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bersepakat menjamin hak setiap orang atas kebebasan pers seperti kebebasan berekspresi, perlindungan pers, dan hak atas informasi," ungkap Romadhon.