Darah dan Doa: Propaganda Kemerdekaan dan Tantangan Disrupsi Teknologi
JAKARTA - Karya monumental dari Usmar Ismail, bukan sekadar film. Diproduksi pada masa awal kemerdekaan Indonesia, dan telah direstorasi Kemendikbudristek, film ini berfungsi sebagai propaganda pemerintah untuk membakar semangat nasionalisme dan mempersatukan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi hadir sebagai pembicara dalam acara pemutaran film dan diskusi “Wajah Baru Propaganda Indonesia Era Disrupsi”, Sabtu (28/9/2024).
Meskipun diproduksi di era yang berbeda, film ini mengajarkan kita tentang pentingnya beradaptasi dengan perubahan zaman. Di era digital yang penuh dengan informasi dan disinformasi, termasuk melalui media sosial, generasi muda perlu memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menyaring informasi dalam format propaganda yang hadir dengan wajah yang jauh lebih menarik dan melenakan.
Milenial dan gen Z saat ini tengah berjuang di arus disrupsi teknologi dan globalisasi. Mereka berjuang untuk mencapai kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesempatan kerja hingga persaingan representasi di berbagai bidang baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa negara seperti India dan China telah menunjukkan kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi.
Mereka memiliki ekosistem startup yang kuat, dukungan pemerintah yang besar, dan sumber daya manusia yang memadai.
Agaknya, Matawaktu, Yayasan riset visual, penyelenggara acara berhasil membuat peserta diskusi tercerahkan sekaligus gelisah dengan pertanyaan yang diungkap Oscar Matuloh dalam kalimat akhir kuratorial yang ditulisnya: Adakah kemerdekaan tanpa kesetaraan?