Jadi Kelompok Rentan, Perlu Kesiapsiagaan Perempuan Dalam Penanggulangan Bencana
Minggu, 07 Agustus 2022 - 19:46 WIB
Peran perempuan saat penanggulangan bencana dinilai sangat penting, mengingat setiap kali bencana kaum hawa menjadi kelompok paling rentan dan sering terabaikan dalam penanganannya.
Demikian diungkapkan Presidium Forum Penanggulangan Resiko Bencana (FPRB) DKI Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Syahid di sela-sela acara Workshop Pengembangan Modul Partisipasi Perempuan Dalam Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang, di Jakarta (4/8).
"Kesiap-siagaan perempuan di dalam setiap bencana, mulai pra-bencana, saat bencana dan setelah bencana perlu diperkuat. Jangan sampai mereka menjadi kelompok rentan yang hanya bergantung pada kaum lelaki saja," imbuh Syahid yang juga Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Ragam bencana di Jakarta dan Kabupaten Tangerang, lanjut guru besar psikologi UIN tersebut secara umum sama dengan bencana di daerah lainnya di Indonesia, seperti gempa bumi, banjir, kebakaran, rob dan lain-lain, tetapi ada juga bencana yang secara spesifik hanya menjadi tipikal di DKI Jakarta, seperti polusi udara, polusi air, pengelolaan sampah, penurunan permukaan bumi, dll.
"Untuk membangun kesiap-siagaan perempuan dalam penanggulangan bencana sudah waktunya bagi kalangan perempuan dibukakan informasi dan akses pengambilan kebijakan, termasuk sumber pendanaan, untuk penanggulangan bencana, mulai dari penyusunan rencana mitigasi dan kesiapsiagaan bencana, mengantisipasi resiko bencana, pelaksanaan penanggulangan, hingga monitoring dan evaluasi hingga rekontruksi," tandasnya.
Partisipasi perempuan, lanjut Syahid di dalam penanggulangan bencana, juga dilakukan bukan hanya akses informasi namun juga dalam sosialisasi, edukasi, advokasi, termasuk mengantisipasi kelompok rentan, pada individu, keluarga, dan komunitas.
Dikatakannya, perempuan adalah ibu peradaban dan episentrum kehidupan sehingga nasib manusia dan generasi mendatang terpengeruh oleh keberadaannya.
Namun, imbuh Syahid, perempuan selalu menjadi kelompok yang paling rentan pada setiap bencana. Penting bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam merumuskan aspek kerentanan pada bencana, penilaian resiko bencana, dampak bencana, ketangguhan dan daya tahan pada bencana dimasukkan kedalam RPJMD di DKI dan Tangerang hingga ke level tingkat Desa/Kelurahan.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia CARE, Lukman Azis Kurniawan. "Hasil pantauan di setiap lokasi bencana, perempuan menjadi kelompok paling rentan. Misal di lokasi pengungsian, perempuan yg tinggal bercampur dengan pengungsi laki-laki harus tidur secara bersama-sama dalam satu tenda. Selain rentan penyakit akibat kebersihan, potensi terjadinya pelecehan seksual juga menghantui kaum perempuan," ujar Lukman yang juga Humas LPB MUI pusat tersebut.
Selain itu, kebutuhan khusus kaum perempuan juga sering terabaikan dalam bantuan. "Termasuk memperlakukan jenazah perempuan korban bencana tidak sama dengan memperlakukan jenazah laki-laki pada umumnya. Ada aurat mayat perempuan yang tetap harus dijaga. Ini perlu diedukasi mendalam dan butuh kehadiran perempuan mulai dari tahap edukasi hingga evaluasi," imbuh aktivis kemanusiaan yang sudah terjun ke lokasi bencana di dalam dan luar negeri tersebut.
Demikian diungkapkan Presidium Forum Penanggulangan Resiko Bencana (FPRB) DKI Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Syahid di sela-sela acara Workshop Pengembangan Modul Partisipasi Perempuan Dalam Penanggulangan Bencana di DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang, di Jakarta (4/8).
"Kesiap-siagaan perempuan di dalam setiap bencana, mulai pra-bencana, saat bencana dan setelah bencana perlu diperkuat. Jangan sampai mereka menjadi kelompok rentan yang hanya bergantung pada kaum lelaki saja," imbuh Syahid yang juga Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Ragam bencana di Jakarta dan Kabupaten Tangerang, lanjut guru besar psikologi UIN tersebut secara umum sama dengan bencana di daerah lainnya di Indonesia, seperti gempa bumi, banjir, kebakaran, rob dan lain-lain, tetapi ada juga bencana yang secara spesifik hanya menjadi tipikal di DKI Jakarta, seperti polusi udara, polusi air, pengelolaan sampah, penurunan permukaan bumi, dll.
"Untuk membangun kesiap-siagaan perempuan dalam penanggulangan bencana sudah waktunya bagi kalangan perempuan dibukakan informasi dan akses pengambilan kebijakan, termasuk sumber pendanaan, untuk penanggulangan bencana, mulai dari penyusunan rencana mitigasi dan kesiapsiagaan bencana, mengantisipasi resiko bencana, pelaksanaan penanggulangan, hingga monitoring dan evaluasi hingga rekontruksi," tandasnya.
Partisipasi perempuan, lanjut Syahid di dalam penanggulangan bencana, juga dilakukan bukan hanya akses informasi namun juga dalam sosialisasi, edukasi, advokasi, termasuk mengantisipasi kelompok rentan, pada individu, keluarga, dan komunitas.
Dikatakannya, perempuan adalah ibu peradaban dan episentrum kehidupan sehingga nasib manusia dan generasi mendatang terpengeruh oleh keberadaannya.
Namun, imbuh Syahid, perempuan selalu menjadi kelompok yang paling rentan pada setiap bencana. Penting bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam merumuskan aspek kerentanan pada bencana, penilaian resiko bencana, dampak bencana, ketangguhan dan daya tahan pada bencana dimasukkan kedalam RPJMD di DKI dan Tangerang hingga ke level tingkat Desa/Kelurahan.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia CARE, Lukman Azis Kurniawan. "Hasil pantauan di setiap lokasi bencana, perempuan menjadi kelompok paling rentan. Misal di lokasi pengungsian, perempuan yg tinggal bercampur dengan pengungsi laki-laki harus tidur secara bersama-sama dalam satu tenda. Selain rentan penyakit akibat kebersihan, potensi terjadinya pelecehan seksual juga menghantui kaum perempuan," ujar Lukman yang juga Humas LPB MUI pusat tersebut.
Selain itu, kebutuhan khusus kaum perempuan juga sering terabaikan dalam bantuan. "Termasuk memperlakukan jenazah perempuan korban bencana tidak sama dengan memperlakukan jenazah laki-laki pada umumnya. Ada aurat mayat perempuan yang tetap harus dijaga. Ini perlu diedukasi mendalam dan butuh kehadiran perempuan mulai dari tahap edukasi hingga evaluasi," imbuh aktivis kemanusiaan yang sudah terjun ke lokasi bencana di dalam dan luar negeri tersebut.
(sra)