Membaca Ulang Arah Industri Baja Nasional Lewat Kasus Inggris
Minggu, 20 April 2025 - 18:29 WIB
Runtuhnya industri baja Inggris jadi pengingat pentingnya perlindungan sektor strategis di dalam negeri.
Industri baja Inggris tengah menghadapi krisis serius. British Steel, produsen baja utama di negara tersebut, berencana menutup dua blast furnace di pabrik Scunthorpe dan menggantinya dengan teknologi Electric Arc Furnace (EAF) yang lebih ramah lingkungan. Langkah ini diperkirakan akan mengorbankan hingga 2.700 pekerjaan dan mengubah secara drastis wajah industri baja Inggris.
Penutupan blast furnace ini akan menjadikan Inggris sebagai satu-satunya negara G7 yang tidak mampu memproduksi baja dari bijih besi, meningkatkan ketergantungan pada impor baja dan bahan baku dari luar negeri.
Tantangan Serupa di Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serupa dalam industri baja. Banjir impor baja murah, terutama dari China, menekan produsen dalam negeri. Kebijakan tarif tinggi untuk impor baja di Amerika Serikat menyebabkan produsen baja dari China mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.
Menurut data Kementerian Perindustrian, kapasitas produksi baja nasional saat ini mencapai sekitar 17 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 21 juta ton pada 2025. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan baja dalam negeri.
Jika seluruh agenda pembangunan industri, infrastruktur, dan manufaktur berjalan sesuai rencana, proyeksi kebutuhan baja Indonesia pada 2045 bahkan diperkirakan mencapai 100 juta ton per tahun. Gap antara kebutuhan dan pasokan dari produksi dalam negeri bisa jadi makin besar.
Kondisi industri baja di Inggris, meski berada di negara maju, ternyata menyimpan kemiripan yang cukup kuat dengan situasi yang dihadapi Indonesia. Salah satu kesamaan yang paling menonjol adalah soal persaingan dengan produk impor murah.
Yang juga sama adalah soal ketergantungan terhadap bahan baku dari luar negeri. Inggris, misalnya, saat ini hanya memiliki satu pabrik—British Steel di Scunthorpe—yang masih memproduksi baja dari bijih besi. Sisanya lebih banyak mengandalkan baja hasil daur ulang atau impor bahan baku dari luar.
Indonesia pun berada dalam posisi yang tak jauh berbeda. Meskipun telah memiliki beberapa fasilitas peleburan baja modern, sebagian besar bahan baku utama—seperti scrap (baja bekas) dan pellet (bijih besi dalam bentuk butiran)—masih harus impor. Ini menjadikan industri baja nasional belum sepenuhnya mandiri dan tetap rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan global.
Lay Monica, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menyoroti bahwa industri baja nasional menghadapi kondisi sulit akibat banjir impor baja yang tidak sesuai standar nasional. Ia menekankan perlunya implementasi bijak dari kebijakan larangan dan pembatasan impor untuk melindungi industri dalam negeri.
Sementara Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, mengkhawatirkan bahwa industri baja Indonesia bisa bernasib seperti industri tekstil yang hancur akibat serbuan produk impor. Ia menekankan perlunya perlindungan pemerintah terhadap industri baja dalam negeri melalui instrumen seperti Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan safeguard.
Kemenperin mengakui adanya peningkatan produksi baja dari China dan berharap oversupply tersebut tidak membebani industri baja domestik. Mereka menyatakan komitmen untuk melindungi industri dalam negeri agar tetap berdaya saing di pasar lokal maupun global.
“Ketika pasar domestik dibanjiri produk impor dan mengakibatkan tekanan yang berat pada demand domestik, hal tersebut juga akan mengancam ekonomi 19 juta pekerja dan keluarganya,” tukas Staf Khusus Menperin Bidang Hukum dan Pengawasan Febri Hendri Antoni Arief.
Strategi Baja Nasional
Belajar dari Inggris, ada sejumlah hal penting yang bisa menjadi bahan refleksi bagi Indonesia dalam mengembangkan industri baja nasional.
Pertama, pentingnya memiliki strategi nasional yang terintegrasi. Pemerintah Inggris kini tengah menyusun "Strategi Baja Nasional" yang bertujuan memperkuat industri baja lokal, mendorong penggunaan baja dalam negeri, serta melindungi pasar domestik dari praktik dagang yang tidak fair.
Di Indonesia, arah kebijakan serupa juga dibutuhkan. Strategi nasional yang tegas—termasuk penguatan penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan roadmap jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada baja impor—menjadi langkah mendesak jika ingin industri baja tumbuh berkelanjutan.
Kedua, soal energi. Salah satu persoalan besar di Inggris adalah mahalnya tarif energi, yang membuat biaya produksi baja menjadi tidak kompetitif dibanding negara lain.
Ketiga, menyangkut perlindungan perdagangan. Inggris menghadapi ancaman hilangnya kebijakan tarif protektif terhadap impor baja pada tahun 2026, yang dikhawatirkan akan membanjiri pasar mereka dengan produk-produk baja murah.
Indonesia harus belajar dari hal ini. Sistem safeguard dan instrumen antidumping perlu diperkuat, tidak hanya sebagai reaksi, tetapi sebagai bagian dari strategi perlindungan yang berkelanjutan bagi pelaku industri dalam negeri.
Di tengah tekanan global dan derasnya arus impor, Indonesia tidak punya pilihan lain selain memperkuat ketahanan industrinya sendiri. Tantangan ini harus dijawab dengan pendekatan sistemik: menyatukan kebijakan perdagangan, energi, investasi, dan teknologi dalam satu peta jalan industri baja nasional.
Menurut Widodo Setiadarmaji, tenaga ahli industri, dan pemerhati industri baja dan pertambangan, negara harus hadir. Bukan untuk menggantikan pasar, tetapi untuk mengarahkan dan melindungi agar pasar bekerja bagi kepentingan nasional jangka panjang.
“Siapa yang memiliki strategi, keberpihakan, dan keberanian untuk melindungi serta membangun industrinya—dialah yang akan bertahan,” katanya.
Pada akhirnya, persaingan industri baja global bukan lagi ditentukan oleh keunggulan perusahaan, tetapi oleh kekuatan kebijakan negara.
Industri baja Inggris tengah menghadapi krisis serius. British Steel, produsen baja utama di negara tersebut, berencana menutup dua blast furnace di pabrik Scunthorpe dan menggantinya dengan teknologi Electric Arc Furnace (EAF) yang lebih ramah lingkungan. Langkah ini diperkirakan akan mengorbankan hingga 2.700 pekerjaan dan mengubah secara drastis wajah industri baja Inggris.
Penutupan blast furnace ini akan menjadikan Inggris sebagai satu-satunya negara G7 yang tidak mampu memproduksi baja dari bijih besi, meningkatkan ketergantungan pada impor baja dan bahan baku dari luar negeri.
Tantangan Serupa di Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serupa dalam industri baja. Banjir impor baja murah, terutama dari China, menekan produsen dalam negeri. Kebijakan tarif tinggi untuk impor baja di Amerika Serikat menyebabkan produsen baja dari China mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.
Menurut data Kementerian Perindustrian, kapasitas produksi baja nasional saat ini mencapai sekitar 17 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 21 juta ton pada 2025. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan baja dalam negeri.
Jika seluruh agenda pembangunan industri, infrastruktur, dan manufaktur berjalan sesuai rencana, proyeksi kebutuhan baja Indonesia pada 2045 bahkan diperkirakan mencapai 100 juta ton per tahun. Gap antara kebutuhan dan pasokan dari produksi dalam negeri bisa jadi makin besar.
Kondisi industri baja di Inggris, meski berada di negara maju, ternyata menyimpan kemiripan yang cukup kuat dengan situasi yang dihadapi Indonesia. Salah satu kesamaan yang paling menonjol adalah soal persaingan dengan produk impor murah.
Yang juga sama adalah soal ketergantungan terhadap bahan baku dari luar negeri. Inggris, misalnya, saat ini hanya memiliki satu pabrik—British Steel di Scunthorpe—yang masih memproduksi baja dari bijih besi. Sisanya lebih banyak mengandalkan baja hasil daur ulang atau impor bahan baku dari luar.
Indonesia pun berada dalam posisi yang tak jauh berbeda. Meskipun telah memiliki beberapa fasilitas peleburan baja modern, sebagian besar bahan baku utama—seperti scrap (baja bekas) dan pellet (bijih besi dalam bentuk butiran)—masih harus impor. Ini menjadikan industri baja nasional belum sepenuhnya mandiri dan tetap rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan global.
Lay Monica, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menyoroti bahwa industri baja nasional menghadapi kondisi sulit akibat banjir impor baja yang tidak sesuai standar nasional. Ia menekankan perlunya implementasi bijak dari kebijakan larangan dan pembatasan impor untuk melindungi industri dalam negeri.
Sementara Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, mengkhawatirkan bahwa industri baja Indonesia bisa bernasib seperti industri tekstil yang hancur akibat serbuan produk impor. Ia menekankan perlunya perlindungan pemerintah terhadap industri baja dalam negeri melalui instrumen seperti Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan safeguard.
Kemenperin mengakui adanya peningkatan produksi baja dari China dan berharap oversupply tersebut tidak membebani industri baja domestik. Mereka menyatakan komitmen untuk melindungi industri dalam negeri agar tetap berdaya saing di pasar lokal maupun global.
“Ketika pasar domestik dibanjiri produk impor dan mengakibatkan tekanan yang berat pada demand domestik, hal tersebut juga akan mengancam ekonomi 19 juta pekerja dan keluarganya,” tukas Staf Khusus Menperin Bidang Hukum dan Pengawasan Febri Hendri Antoni Arief.
Strategi Baja Nasional
Belajar dari Inggris, ada sejumlah hal penting yang bisa menjadi bahan refleksi bagi Indonesia dalam mengembangkan industri baja nasional.
Pertama, pentingnya memiliki strategi nasional yang terintegrasi. Pemerintah Inggris kini tengah menyusun "Strategi Baja Nasional" yang bertujuan memperkuat industri baja lokal, mendorong penggunaan baja dalam negeri, serta melindungi pasar domestik dari praktik dagang yang tidak fair.
Di Indonesia, arah kebijakan serupa juga dibutuhkan. Strategi nasional yang tegas—termasuk penguatan penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan roadmap jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada baja impor—menjadi langkah mendesak jika ingin industri baja tumbuh berkelanjutan.
Kedua, soal energi. Salah satu persoalan besar di Inggris adalah mahalnya tarif energi, yang membuat biaya produksi baja menjadi tidak kompetitif dibanding negara lain.
Ketiga, menyangkut perlindungan perdagangan. Inggris menghadapi ancaman hilangnya kebijakan tarif protektif terhadap impor baja pada tahun 2026, yang dikhawatirkan akan membanjiri pasar mereka dengan produk-produk baja murah.
Indonesia harus belajar dari hal ini. Sistem safeguard dan instrumen antidumping perlu diperkuat, tidak hanya sebagai reaksi, tetapi sebagai bagian dari strategi perlindungan yang berkelanjutan bagi pelaku industri dalam negeri.
Di tengah tekanan global dan derasnya arus impor, Indonesia tidak punya pilihan lain selain memperkuat ketahanan industrinya sendiri. Tantangan ini harus dijawab dengan pendekatan sistemik: menyatukan kebijakan perdagangan, energi, investasi, dan teknologi dalam satu peta jalan industri baja nasional.
Menurut Widodo Setiadarmaji, tenaga ahli industri, dan pemerhati industri baja dan pertambangan, negara harus hadir. Bukan untuk menggantikan pasar, tetapi untuk mengarahkan dan melindungi agar pasar bekerja bagi kepentingan nasional jangka panjang.
“Siapa yang memiliki strategi, keberpihakan, dan keberanian untuk melindungi serta membangun industrinya—dialah yang akan bertahan,” katanya.
Pada akhirnya, persaingan industri baja global bukan lagi ditentukan oleh keunggulan perusahaan, tetapi oleh kekuatan kebijakan negara.
(sra)